Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas
Vitamin (bahasa
Inggris: vital amine, vitamin) adalah
sekelompok senyawa organik
berbobot molekul kecil yang memiliki fungsi vital dalam metabolisme
setiap organisme,[1]
yang tidak dapat dihasilkan oleh tubuh.
Nama ini berasal dari gabungan kata bahasa
Latin vita yang artinya "hidup" dan amina (amine)
yang mengacu pada suatu gugus organik yang
memiliki atom
nitrogen
(N), karena pada awalnya vitamin dianggap demikian.[2]
Kelak diketahui bahwa banyak vitamin yang sama sekali tidak memiliki atom N. Dipandang
dari sisi enzimologi
(ilmu tentang enzim),
vitamin adalah kofaktor dalam reaksi
kimia yang dikatalisasi oleh enzim. Pada
dasarnya, senyawa vitamin ini digunakan tubuh untuk dapat bertumbuh dan
berkembang secara normal.[3]
Terdapat 13 jenis vitamin yang dibutuhkan oleh
tubuh untuk dapat bertumbuh dan berkembang dengan baik. Vitamin tersebut antara
lain vitamin A, C, D, E, K, dan B (tiamin, riboflavin, niasin, asam
pantotenat, biotin, vitamin B6, vitamin
B12, dan folat).[3]
Walau memiliki peranan yang sangat penting, tubuh hanya dapat memproduksi vitamin
D dan vitamin K dalam bentuk provitamin yang
tidak aktif. Sumber berbagai vitamin ini dapat berasal dari makanan,
seperti buah-buahan,
sayuran,
dan suplemen makanan.[3]
Vitamin memiliki peranan spesifik di dalam tubuh
dan dapat pula memberikan manfaat kesehatan. Bila kadar senyawa ini tidak
mencukupi, tubuh dapat mengalami suatu penyakit.[3]
Tubuh hanya memerlukan vitamin dalam jumlah sedikit, tetapi jika kebutuhan ini
diabaikan maka metabolisme di dalam tubuh
kita akan terganggu karena fungsinya tidak dapat digantikan oleh senyawa lain.[2]
Gangguan kesehatan ini dikenal dengan istilah avitaminosis.[4]
Contohnya adalah bila kita kekurangan vitamin
A maka kita akan mengalami kerabunan. Di samping itu, asupan vitamin
juga tidak boleh berlebihan karena dapat menyebabkan gangguan metabolisme pada
tubuh.[5]
Sejarah
Vitamin merupakan suatu senyawa yang telah lama
dikenal oleh peradaban manusia. Sudah sejak ribuan tahun lalu, manusia telah
mengenal vitamin sebagai salah satu senyawa yang dapat memberikan efek
kesehatan bagi tubuh. Seiring dengan berkembangnya zaman dan ilmu pengetahuan,
berbagai hal dan penelusuran lebih mendalam mengenai vitamin pun turut
diperbaharui. Garis besar sejarah vitamin dapat dibagi menjadi 5 era penting.[6]
Disetiap era tersebut, terjadi suatu kemajuan besar terhadap senyawa vitamin
ini yang diakibatkan oleh adanya kemajuan teknologi
dan ilmu pengetahuan.
Era penyembuhan empiris
Era pertama dimulai pada sekitar tahun 1500-1570 sebelum masehi.[6]
Pada masa itu, banyak ahli pengobatan dari berbagai bangsa, seperti Mesir, Cina, Jepang, Yunani, Roma, Persia, dan Arab,
telah menggunakan ekstrak senyawa (diduga vitamin) dari hati yang kemudian
digunakan untuk menyembuhkan penyakit kerabunan pada malam hari. Penyakit ini
kemudian diketahui disebabkan oleh defisiensi vitamin A.[2]
Walau pada masa tersebut ekstrak hati tersebut banyak digunakan, para ahli
pengobatan masih belum dapat mengidentifikasi senyawa yang dapat menyembuhkan
penyakit kerabunan tersebut. Oleh karena itu, era ini dikenal dengan era
penyembuhan empiris (berdasarkan pengalaman).[7]
Era karakterisasi defisiensi
Perkembangan besar berikutnya mengenai vitamin baru
kembali muncul pada tahun 1890-an.[7]
Penemuan ini diprakarsai oleh Lunin dan Christiaan Eijkman yang
melakukan penelitian mengenai penyakit defisiensi pada
hewan. Penemuan inilah yang kemudian memulai era kedua dari lima garis besar
sejarah vitamin di dunia.[6]
Penelitian mereka terfokus pada pengamatan penyakit akibat defisiensi senyawa
tertentu. Beberapa tahun berselang, ilmuwan Sir
Frederick G. Hopkins yang sedang melakukan analisis penyakit beri-beri
pada hewan menemukan bahwa hal ini disebabkan oleh kekurangan suatu senyawa
faktor pertumbuhan (growth factor).[8]
Pada tahun 1911,
seorang ilmuwan kelahiran Amerika bernama Dr. Casimir Funk
berhasil mengisolasi suatu senyawa yang telah dibuktikan dapat mencegah
peradangan saraf
(neuritis) untuk
pertama kalinya.[9]
Dr. Casimir juga berhasil mengisolasi senyawa aktif dari sekam beras yang diyakini
memiliki aktivitas antiberi-beri pada tahun
berikutnya. Pada saat itulah (dan untuk pertama kalinya), Dr Funk
mempublikasikan senyawa aktif hasil temuannya tersebut dengan istilah vitamine
(vital dan amines). Pemberian nama amines pada senyawa
vitamin ini karena diduga semua jenis senyawa aktif ini memiliki gugus amina (amine).
Hal tersebut kemudian segera disanggah dan diganti menjadi vitamin (dengan
penghilangan akhiran huruf "e") pada tahun 1920.[10]
Masa keemasan
Era ketiga sejarah vitamin terjadi beberapa dekade
berikutnya.[7]
Pada masa tersebut, terjadi banyak penemuan besar mengenai vitamin itu sendiri,
meliputi penemuan vitamin jenis baru, metode penapisan yang diperbahurui,
penggambaran struktur lengkap vitamin, dan sÃntesis vitamin
B12. Oleh karena hal tersebutlah, era ketiga dari garis besar
sejarah vitamin ini dikenal dengan masa keemasan (golden age).[7]
Banyak penelti yang mendapatkan hadiah nobel atas penemuannya di bidang vitamin
ini. Sir Walter N. Hawort
mendapatkan nobel di bidang kimia atas penemuan vitamin
C pada tahun 1937.
Hadiah nobel lainnya diperoleh
oleh Carl
Peter Henrik Dam di bidang Fisiologi
- Pengobatan pada tahun 1943
atas penemuan vitamin
K.[11]
Fritz A Litmann juga
turut memenangkan nobel atas dedikasinya dibidang penelitian mengenai penemuan koenzim A dan
perannya di dalam metabolisme tubuh.[11]
Era karakterisasi fungsi dan produksi
Era keempat ditandai dengan banyaknya penemuan
mengenai fungsi biokimia
vitamin di dalam tubuh, perannya dalam makanan yang kita konsumsi sehari-hari,
dan produksi komersial vitamin untuk pertama kalinya dalam sejarah.[7]
Pada tahun 1930-an,
para peneliti menemukan bahwa vitamin B2 merupakan
bagian dari “enzim kuning”. Vitamin B2 ini sendiri diperoleh dari ekstrak ragi.[12]
Melalui penelitian ini juga, kelompok vitamin
B diketahui berperan sebagai koenzim yang penting di dalam tubuh
manusia. Produksi masal vitamin untuk pertama kalinya juga terjadi pada era
ini. Dikomersilkan pertama kali oleh Tadeus
Reichstein pada tahun 1933, vitamin C telah dijual kepada masyarakat luas dengan
harga yang relatif murah sehingga terjangkau bagi khalayak ramai.[13]
Vitamin
C yang juga dikenal dengan istilah asam
askorbat ini kemudian banyak dipakai sebagai suplemen makanan,
penelitian, dan gizi tambahan bagi hewan ternak. Atas hasil penemuan ini,
Tadeus Reichstein mendapatkan nobel di bidang Fisiologi – Pengobatan pada tahun
1950.[14]
Era penemuan nilai kesehatan vitamin
Hanya dalam waktu 1 dekade berikutnya setelah era
vitamin keempat, perkembangan ilmu pengetahuan telah membawa vitamin keera
berikutnya, yaitu era kelima dimana banyak ditemukan nilai kesehatan dari
masing-masing jenis vitamin dan penemuan baru mengenai fungsi biokimia vitamin
bagi tubuh.[7]
Masa ini dimulai pada tahun 1955 ketika Rudolf Altschul
menemukan bahwa niasin
(vitamin
B3) dapat menurunkan kadar kolesterol
dalam darah.[15]
Peranan kesehatan ini terlepas dari efek defisiensi vitamin B3 itu sendiri
maupun perannya sebagai koenzim dalam metabolisme tubuh.[16]
Berbagai vitamin
Secara garis besar, vitamin dapat dikelompokkan
menjadi 2 kelompok besar, yaitu vitamin yang larut dalam air dan vitamin yang
larut dalam lemak.
Hanya terdapat 2 vitamin yang larut dalam air, yaitu B dan C, sedangkan vitamin
lainnya, yaitu vitamin A, D, E, dan K bersifat larut dalam lemak.[17]
Vitamin yang larut dalam lemak akan disimpan di dalam jaringan adiposa (lemak) dan
di dalam hati. Vitamin ini kemudian akan dikeluarkan dan diedarkan ke seluruh
tubuh saat dibutuhkan. Beberapa jenis vitamin hanya dapat disimpan beberapa
hari saja di dalam tubuh, sedangkan jenis vitamin lain dapat bertahan hingga 6
bulan lamanya di dalam tubuh.[17]
Berbeda dengan vitamin yang larut dalam lemak,
jenis vitamin larut dalam air hanya dapat disimpan dalam jumlah sedikit dan
biasanya akan segera hilang bersama aliran makanan. Saat suatu bahan pangan
dicerna oleh tubuh, vitamin yang terlepas akan masuk ke dalam aliran darah dan
beredar ke seluruh bagian tubuh. Apabila tidak dibutuhkan, vitamin ini akan
segera dibuang tubuh bersama urin.[18]
Oleh karena hal inilah, tubuh membutuhkan asupan vitamin larut air secara
terus-menerus.
Vitamin A
Vitamin A, yang juga
dikenal dengan nama retinol, merupakan vitamin
yang berperan dalam pembentukkan indra penglihatan
yang baik, terutama di malam hari, dan sebagai salah satu komponen penyusun pigmen mata di retina. Selain itu,
vitamin ini juga berperan penting dalam menjaga kesehatan kulit dan imunitas tubuh.[17]
Vitamin ini bersifat mudah rusak oleh paparan panas, cahaya matahari, dan
udara. Vitamin A banyak ditemukan pada susu, ikan, sayur-sayuran
(terutama yang berwarna hijau dan kuning), dan juga buah-buahan
(terutama yang berwarna merah dan kuning, seperti cabai
merah, wortel,
pisang,
dan pepaya).[1]
Defisiensi vitamin A dapat menyebabkan rabun
senja, katarak,
infeksi
saluran pernapasan,
dan penurunan daya tahan tubuh. Kelebihan vitamin A di dalam tubuh dapat
menyebabkan keracunan.[1]
Penyakit yang dapat ditimbulkan antara lain pusing-pusing, kerontokan rambut,
kulit kering bersisik, dan pingsan.[19]
Selain itu, bila sudah dalam kondisi akut, hal ini dapat menyebabkan kerabunan,
terhambatnya pertumbuhan tubuh, pembengkakan hati, dan iritasi kulit.[1]
Vitamin B
Secara umum, golongan vitamin B berperan penting
dalam metabolisme di dalam tubuh, terutama dalam hal pelepasan energi saat
beraktivitas.[18]
Hal ini terkait dengan peranannya di dalam tubuh, yaitu sebagai senyawa koenzim yang dapat
meningkatkan laju reaksi metabolisme
tubuh terhadap berbagai jenis sumber energi. Beberapa jenis vitamin yang
tergolong dalam kelompok vitamin B ini juga berperan dalam pembentukan sel
darah merah (eritrosit). Sumber utama
vitamin B berasal dari susu, gandum, ikan, dan sayur-sayuran hijau.[19]
Vitamin B1
Vitamin B1, yang dikenal
juga dengan nama tiamin,
merupakan salah satu jenis vitamin yang memiliki peranan penting dalam menjaga
kesehatan kulit dan membantu mengkonversi karbohidrat
menjadi energi yang diperlukan tubuh untuk rutinitas sehari-hari. Di samping
itu, vitamin B1 juga membantu proses metabolisme protein
dan lemak.
Bila terjadi defisiensi vitamin B1, kulit akan mengalami berbagai gangguan,
seperti kulit kering dan bersisik.[17]
Tubuh juga dapat mengalami beri-beri, gangguan
saluran pencernaan, jantung, dan sistem
saraf. Untuk mencegah hal tersebut, kita perlu banyak mengonsumsi
banyak gandum,
nasi, daging, susu, telur, dan tanaman kacang-kacangan.
Bahan makanan inilah yang telah terbukti banyak mengandung vitamin B1.[1]
Vitamin B2
Vitamin B2 (riboflavin)
banyak berperan penting dalam metabolisme di tubuh manusia.[1]
Di dalam tubuh, vitamin B2 berperan sebagai salah satu kompenen koenzim flavin mononukleotida
(flavin mononucleotide,
FMN) dan flavin
adenine dinukleotida (adenine dinucleotide,
FAD). Kedua enzim ini berperan penting dalam regenerasi energi bagi tubuh
melalui proses respirasi. Vitamin ini
juga berperan dalam pembentukan molekul steroid,
sel
darah merah, dan glikogen, serta menyokong
pertumbuhan berbagai organ tubuh, seperti kulit, rambut, dan kuku.[6]
Sumber vitamin B2 banyak ditemukan pada sayur-sayuran segar, kacang
kedelai, kuning telur, dan susu. Defisiensinya dapat menyebabkan
menurunnya daya tahan tubuh, kulit kering bersisik, mulut kering, bibir
pecah-pecah, dan sariawan.
Vitamin B3
Vitamin B3 juga dikenal
dengan istilah niasin.
Vitamin ini berperan penting dalam metabolisme karbohidrat
untuk menghasilkan energi, metabolisme lemak, dan protein.[20]
Di dalam tubuh, vitamin B3 memiliki peranan besar dalam menjaga kadar gula
darah, tekanan darah tinggi,
penyembuhan migrain,
dan vertigo.
Berbagai jenis senyawa racun dapat dinetralisir dengan bantuan vitamin ini.[20]
Vitamin B3 termasuk salah satu jenis vitamin yang banyak ditemukan pada makanan
hewani, seperti ragi,
hati, ginjal, daging unggas, dan ikan.[17]
Akan tetapi, terdapat beberapa sumber pangan lainnya yang juga mengandung
vitamin ini dalam kadar tinggi, antara lain gandum dan kentang
manis. Kekurangan vitamin ini dapat menyebabkan tubuh mengalami kekejangan,
keram otot, gangguan sistem pencernaan, muntah-muntah, dan mual.[19]
Vitamin B5
Vitamin B5 (asam
pantotenat) banyak terlibat dalam reaksi enzimatik di dalam tubuh.
Hal ini menyebabkan vitamin B5 berperan besar dalam berbagai jenis metabolisme,
seperti dalam reaksi pemecahan nutrisi makanan, terutama lemak.[6]
Peranan lain vitamin ini adalah menjaga komunikasi yang baik antara sistem saraf pusat dan otak dan memproduksi
senyawa asam
lemak, sterol, neurotransmiter,
dan hormon
tubuh. [20]
Vitamin B5 dapat ditemukan dalam berbagai jenis variasi makanan hewani, mulai
dari daging, susu,
ginjal,
dan hati hingga makanan nabati, seperti sayuran hijau dan kacang
hijau. Seperti halnya vitamin B1 dan B2, defisiensi vitamin B5 dapat
menyebabkan kulit pecah-pecah dan bersisik. Selain itu, gangguan lain yang akan
diderita adalah keram otot serta kesulitan untuk tidur.[1]
Vitamin B6
Vitamin B6, atau dikenal
juga dengan istilah piridoksin, merupakan
vitamin yang esensial bagi pertumbuhan tubuh. Vitamin ini berperan sebagai
salah satu senyawa koenzim A yang digunakan
tubuh untuk menghasilkan energi melalui jalur sintesis asam
lemak, seperti spingolipid dan fosfolipid.[20][6]
Selain itu, vitamin ini juga berperan dalam metabolisme nutrisi
dan memproduksi antibodi
sebagai mekanisme pertahanan tubuh terhadap antigen
atau senyawa asing yang berbahaya bagi tubuh.[20]
Vitamin ini merupakan salah satu jenis vitamin yang mudah didapatkan karena
vitamin ini banyak terdapat di dalam beras, jagung,
kacang-kacangan, daging, dan ikan. Kekurangan vitamin dalam jumlah banyak dapat menyebabkan
kulit pecah-pecah, keram otot, dan insomnia.[19]
Vitamin B12
Vitamin B12 atau sianokobalamin
merupakan jenis vitamin yang hanya khusus diproduksi oleh hewan dan tidak
ditemukan pada tanaman.
Oleh karena itu, vegetarian sering kali mengalami
gangguan kesehatan tubuh akibat kekurangan vitamin ini.[20]
Vitamin ini banyak berperan dalam metabolisme energi di dalam
tubuh. Vitamin B12 juga termasuk dalam salah satu jenis vitamin yang berperan
dalam pemeliharaan kesehatan sel saraf, pembentukkan molekul DNA dan RNA, pembentukkan platelet darah.[6]
Telur, hati, dan daging merupakan sumber makanan yang baik untuk memenuhi
kebutuhan vitamin B12. Kekurangan vitamin ini akan menyebabkan anemia (kekurangan
darah), mudah lelah lesu, dan iritasi kulit.[1]
Vitamin C
Vitamin C (asam
askorbat) banyak memberikan manfaat bagi kesehatan tubuh kita. Di
dalam tubuh, vitamin C juga berperan sebagai senyawa pembentuk kolagen yang
merupakan protein penting penyusun jaringan
kulit,
sendi,
tulang, dan jaringan penyokong
lainnya. [21]
Vitamin C merupakan senyawa antioksidan alami yang
dapat menangkal berbagai radikal bebas dari polusi di sekitar lingkungan
kita. Terkait dengan sifatnya yang mampu menangkal radikal bebas, vitamin C
dapat membantu menurunkan laju mutasi dalam tubuh sehingga risiko timbulnya berbagai penyakit degenaratif,
seperti kanker,
dapat diturunkan.[22]
Selain itu, vitamin C berperan dalam menjaga bentuk dan struktur dari berbagai
jaringan di dalam tubuh, seperti otot. Vitamin ini juga berperan dalam penutupan luka saat
terjadi pendarahan dan memberikan perlindungan lebih dari infeksi
mikroorganisme
patogen.[21]
Melalui mekanisme inilah vitamin C berperan dalam menjaga kebugaran tubuh dan
membantu mencegah berbagai jenis penyakit. Defisiensi vitamin C juga dapat
menyebabkan gusi berdarah dan nyeri pada persendian. Akumulasi vitamin C yang berlebihan di dalam tubuh
dapat menyebabkan batu ginjal, gangguan
saluran pencernaan, dan rusaknya sel darah merah.[21]
Vitamin D
Vitamin D juga merupakan
salah satu jenis vitamin yang banyak ditemukan pada makanan hewani, antara lain
ikan, telur, susu, serta produk olahannya, seperti keju. Bagian tubuh
yang paling banyak dipengaruhi oleh vitamin ini adalah tulang. Vitamin D
ini dapat membantu metabolisme kalsium dan mineralisasi tulang.[23]
Sel kulit akan segera memproduksi vitamin D saat terkena cahaya matahari (sinar
ultraviolet). Bila kadar vitamin D rendah maka tubuh akan mengalami
pertumbuhan kaki yang tidak normal, dimana betis kaki akan membentuk huruf O
dan X.[24]
Di samping itu, gigi akan mudah mengalami kerusakan dan otot pun akan mengalami
kekejangan.[1]
Penyakit lainnya adalah osteomalasia, yaitu
hilangnya unsur kalsium
dan fosfor
secara berlebihan di dalam tulang. Penyakit ini biasanya ditemukan pada remaja,
sedangkan pada manula, penyakit yang dapat ditimbulkan adalah osteoporosis,
yaitu kerapuhan tulang akibatnya berkurangnya kepadatan tulang. Kelebihan
vitamin D dapat menyebabkan tubuh mengalami diare, berkurangnya
berat badan, muntah-muntah, dan dehidrasi
berlebihan.[17]
Vitamin E
Vitamin E berperan dalam
menjaga kesehatan berbagai jaringan di dalam tubuh, mulai dari jaringan kulit,
mata, sel darah merah hingga hati. Selain itu, vitamin ini juga dapat
melindungi paru-paru manusia dari polusi udara. Nilai kesehatan ini terkait dengan kerja vitamin
E di dalam tubuh sebagai senyawa antioksidan
alami. Vitamin E banyak ditemukan pada ikan, ayam, kuning telur, ragi, dan
minyak tumbuh-tumbuhan. Walaupun hanya dibutuhkan dalam jumlah sedikit,
kekurangan vitamin E dapat menyebabkan gangguan kesehatan yang fatal bagi
tubuh, antara lain kemandulan baik bagi pria maupun wanita. Selain itu, saraf dan
otot akan mengalami gangguan yang berkepanjangan.[19]
Vitamin K
Vitamin K banyak berperan
dalam pembentukan sistem peredaran darah yang baik dan penutupan luka. Defisiensi
vitamin ini akan berakibat pada pendarahan
di dalam tubuh dan kesulitan pembekuan darah saat terjadi luka atau pendarahan.
Selain itu, vitamin K juga berperan sebagai kofaktor enzim untuk
mengkatalis reaksi karboksilasi asam
amino asam glutamat.[25]
Oleh karena itu, kita perlu banyak mengonsumsi susu, kuning telur, dan sayuran
segar yang merupakan sumber vitamin K yang baik bagi pemenuhan kebutuhan di
dalam tubuh.[17]
Berikut adalah senyawa-senyawa yang tergolong
vitamin alami.
Tahun penemuan vitamin alami dan sumbernya
|
|||
Tahun penemuan
|
Vitamin
|
Nama biokimia
|
Ditemukan di
|
1909
|
Vitamin A
|
||
1912
|
Vitamin B1
|
||
1912
|
Vitamin C
|
||
1918
|
Vitamin D
|
||
1920
|
Vitamin B2
|
||
1922
|
|||
1926
|
Vitamin B12
|
Telur
|
|
1929
|
|||
1931
|
Vitamin B5
|
||
1931
|
Vitamin B7
|
Hati
|
|
1934
|
Vitamin B6
|
Kacang
|
|
1936
|
Vitamin B3
|
Ragi
|
|
1941
|
Vitamin B9
|
Hati
|
Senyawa serupa vitamin
Sel darah merah, terbentuk sempurna
oleh kontribusi vitamin B, C, dan E, serta asam para-aminobenzoat
Selain vitamin, tubuh juga memproduksi senyawa lain
yang juga berperan dalam kelancaran metabolisme
di dalam tubuh. Senyawa ini memiliki karakteristik dan aktivitas yang mirip
dengan vitamin sehingga seringkali disebut dengan istilah senyawa serupa
vitamin ({{lang-en|vitamin like substances).[26]
Perbedaan utamanya dengan vitamin adalah senyawa ini diproduksi tubuh dalam
jumlah yang cukup untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari. Beberapa senyawa ini
pernah diklasifikasikan
ke dalam kelompok vitamin B kompleks
karena kemiripan fungsi dan sumber makanannya. Akan tetapi, secara umum peranan
senyawa serupa vitamin ini tidaklah sepenting vitamin.[27]
Kolina merupakan salah satu senyawa yang termasuk dalam
golongan senyawa serupa vitamin. Senyawa ini dapat ditemukan di setiap sel
mahluk hidup dan berperan dalam pengaturan sistem saraf yang baik dan beberapa
metabolisme sel.[28]
Mioinositol (myoinositol)
juga termasuk dalam golongan senyawa serupa vitamin yang larut dalam air.[29]
Peranannya dalam tubuh secara spesifik belum diketahui. Contoh lain dari
senyawa serupa vitamin ini adalah asam para-aminobenzoat
(4-aminobenzoic acid,
PABA) yang berperan
sebagai senyawa antioksidan dan penyusun
sel darah merah. Karnitina merupakan
senyawa lain yang berperan dalam sistem transportasi asam
lemak dan pembentukkan otot tubuh.[28]
Vitamin sebagai antioksidan
Semua jenis kehidupan di bumi memerlukan energi untuk dapat
bertahan hidup. Untuk menghasilkan energi ini, makhluk hidup memerlukan bantuan
berbagai substansi, salah satunya adalah oksigen.
Oksigen terlibat secara langsung dalam metabolisme
energi di dalam tubuh. Sebagai produk sampingannya, oksigen dilepaskan dalam
bentuk yang tidak stabil. Molekul inilah yang dikenal dengan nama radikal
bebas (free radicals).[30]
Oksigen yang tidak stabil memiliki elektron
bebas yang tidak berpasangan sehingga bersifat reaktif. Kereaktifan oksigen ini
sangat berbahaya bagi tubuh karena dapat mengoksidasi dan merusak DNA, protein,
karbohidrat,
asam
lemak, dan membran sel di dalam tubuh. Sumber radikal bebas lainnya
adalah asap rokok,
polusi
lingkungan, dan sinar ultraviolet.[31]
Asap rokok, salah satu sumber
radikal bebas yang dapat merusak jaringan tubuh, terutama paru-paru.
Tubuh memiliki beberapa mekanisme pertahanan
terhadap senyawa radikal bebas ini untuk menetralkan efek negatifnya.
Kebanyakan diantaranya adalah senyawa antioksidan
alami, seperti enzim superoksida dismutase,
katalase, dan glutation peroksidase.
Antioksidan sendiri berarti senyawa yang dapat mencegah terjadinya peristiwa
oksidasi atau reaksi kimia lain yang melibatkan molekul oksigen (O2).[32]
Senyawa lain yang juga dapat berperan sebagai antioksidan adalah glutation, CoQ10, dan gugus
tiol pada protein, serta vitamin.[33]
Beberapa jenis vitamin telah terbukti memiliki aktivitas antioksidan yang cukup
tinggi. Contoh vitamin yang banyak berperan sebagai senyawa antioksidan di
dalam tubuh adalah vitamin C dan vitamin E.[6]
Vitamin E dapat membantu
melindungi tubuh dari oksidasi senyawa radikal
bebas.[33]
Vitamin ini juga mampu bekerja dalam kondisi kadar senyawa radikal bebas yang
tinggi sehingga mampu dengan efisien dan efektif menekan reaksi perusakan
jaringan di dalam tubuh melalui proses oksidasi.
Di samping vitamin E, terdapat satu jenis vitamin lagi yang juga memiliki
aktivitas antioksidan yang tinggi, yaitu vitamin
C. Vitamin ini berinteraksi dengan senyawa radikal bebas di bagian
cairan sel.
Selain itu, vitamin C juga dapat memulihkan kondisi tubuh akibat adanya reaksi
oksidasi dari berbagai senyawa berbahaya.[33]
Bila kadar radikal bebas di dalam tubuh menjadi
sangat berlebih dan tidak lagi dapat diantisipasi oleh senyawa antioksidan maka
akan timbul berbagai penyakit kronis, seperti kanker, arterosklerosis, penyakit
jantung, katarak, alzhemeir, dan rematik.[30]
Bagi orang yang memiliki sejarah penyakit kronis tersebut dalam garis
keturunannya, dianjurkan untuk mengonsumsi banyak makanan yang mengandung
vitamin C dan E sebagai sumber senyawa antioksidan. Selain itu, suplemen makanan
juga dapat turut membantu mengatasi masalah tersebut.
Vitamin dan penuaan tubuh
Struktur mitokondria, salah satu
organel sel penghasil energi bagi tubuh
Penuaan tubuh merupakan
hasil akumulasi dari berbagai kerusakan sel dan jaringan yang tidak dapat
diperbaiki. Pada keadaan normal, kerusakan pada sel dan jaringan tubuh dapat
diperbaiki melalui proses replikasi sel tubuh
yang juga dikenal dengan istilah mitosis.[34]
Akan tetapi, pada berbagai kasus sel yang rusak tidak lagi dapat diperbaharui,
melainkan terus terakumulasi. Hal inilah yang berpotensi menyebabkan penuaan
pada tubuh.[33]
Senyawa radikal bebas merupakan salah satu agen yang berkontribusi besar dalam
peristiwa ini.
Mitokondria merupakan
salah satu organel sel yang
paling rentan mengalami kerusakan oleh senyawa oksigen reaktif (radikal bebas).
Hal ini terkait dengan banyaknya reaksi pelepasan oksigen bebas di dalam
organel ini yang merupakan pusat metabolisme
energi
tubuh.[30]
Banyak penelitian telah membuktikan bahwa tingkat kerusakan mitokondria ini
berhubungan langsung dengan proses penuaan tubuh atau panjangnya umur suatu
makhluk hidup. Selain itu, kerusakan DNA akibat reaksi oksidasi oleh radikal bebas juga turut
berperan besar dalam peristiwa ini.[30]
Oleh karena itu, tubuh memerlukan suatu senyawa untuk menekan efek perusakan
oleh radikal bebas.
Vitamin merupakan satu dari berbagai jenis senyawa
yang dapat menghambat reaksi perusakan tubuh best bodybuilding supplements
oleh senyawa radikal bebas terkait dengan aktivitas antioksidannya. Asupan
vitamin antioksidan yang cukup akan membantu tubuh mengurangi efek penuaan oleh
radikal bebas, terutama oleh oksigen bebas yang reaktif.[35]
Selain itu, vitamin juga berkontribusi dalam menyokong sistem
imun yang baik sehingga risiko terkena berbagai penyakit degeneratif
dan penyakit lainnya dapat ditekan, terutama pada manula. Jadi, secara
tidak langsung, asupan vitamin yang cukup dan seimbang dapat menciptakan
kondisi tubuh yang sehat dan berumur panjang.
Lihat pula
Catatan kaki
1.
^ a
b
c
d
e
f
g
h
i
"Vitamin
oleh Bono". Diakses
2010-04-07.
2.
^ a
b
c
"Rahayu
ID. Klasifikasi, Fungsi dan Metabolisme Vitamin.". Universitas
Pertanian dan Peternakan UMM.
3.
^ a
b
c
d
Vitamin. US National Library of Medicine dan
National Institue of Health. http://www.nlm.nih.gov/medlineplus/vitamins.html
4.
^ "Siswono.
2003. Mikroskop Avitaminosis". Republika.
5.
^ "Suplemen
Vitamin".
6.
^ a
b
c
d
e
f
g
h
Vitamin Basics. DSM Nutritional Products. http://www.vitamin-basics.com/index.php?id=5
7.
^ a
b
c
d
e
f
"Lima
Era Sejarah Vitamin".
Diakses 2010-04-05.
8.
^ "Mary
Bellis. 2010. Vitamin, Production Method: The History of Vitamin".
9.
^ Challem Jack. 1997. The Past, Present and Future of
Vitamins. http://www.thenutritionreporter.com/history_of_vitamins.html
10. ^ Kimpel PA. 2010. Vitamin: How Much is Too Much??. http://inventors.about.com/gi/dynamic/offsite.htm?site=http://iml.jou.ufl.edu/projects/Spring2000/Kimpel/vitamins.html
11. ^ a
b
Nobel Foundation 1943. http://nobelprize.org/nobel_prizes/medicine/laureates/1943/dam-bio.html
12. ^ Sullivan K. 2002. Vitamins and Minerals: A Practical
Approach to a Health Diet and Safe Supplementation. Harper Collins.
13. ^ Biografi Tadeus Richtein. Cartage. http://www.cartage.org.lb/en/themes/Biographies/MainBiographies/R/Reichstein/1.html
14. ^ The Nobel Foundation 1950. http://nobelprize.org/nobel_prizes/medicine/laureates/1950/reichstein-bio.html.
Diakases pada 20 April 2010
15. ^ Muller D, Mehling H, Lips RB, Luft F. 2007. Niacin lowers
serum phosphate and increases HDL cholesterol in dialysis patients. Clin J
Am Soc Nephrol 2:1249-54
16. ^ Altschul R, Hoffer A, Stephen JD. 1955. Influence of
Nicotinic Acid on Serum Cholesterol in Man. Arch Biochem Biophys
54:558–9
17. ^ a
b
c
d
e
f
g
"Godam.
2006. Pengertian dan Definisi Vitamin". Diakses 2010-04-07.
18. ^ a
b
Nemours. 2010. Vitamin. http://kidshealth.org/kid/stay_healthy/food/vitamin.html#.
Diakses pada 10 April 2010
19. ^ a
b
c
d
e
"Higdon
J. 2002. Vitamin". Linus
Pauling Institute. Diakses
2010-04-09.
20. ^ a
b
c
d
e
f
Vitamin and Health Supplements Guide. Supplements
Store. http://www.vitamins-supplements.org/.
Diakses pada 23 April 2010
21. ^ a
b
c
Naidu KA. 2003. Vitamin C in human health and
disease is still mistery? An Overview. J Nutr 2:7
22. ^ Stonehaven. 2008. Vitamin C: A powerful weapon in the
prevention of degenerative disease. http://www.preventive-health-guide.com/vitamin-c.html.
Diakses pada 20 April 2010
23. ^ Lappe JM, Gustafson DT, Davies KM, Recker RR, Heaney RP.
2007. Vitamin D and calcium supplementation reduces cancer risk: results of a
randomized trial. Am J Clin Nutr 85(6):1586-91
24. ^ Sharrard. 1976. Knock knees and bow legs. Br Med J
1:826-827
25. ^ Furie B, Bouchard BA, Furie BC. 1999. Vitamin K-dependent
biosynthesis of gamma-carboxyglutamic acid. Blood 93(6):1798-1808.
26. ^ Vitamin Like Substances. http://www.cyber-north.com/vitamins/vitaminlike.html.
Diakses pada 10 April 2010
27. ^ Vitamin Like Substances. http://www.cyber-north.com/vitamins/vitaminlike.html.
Diakses pada 10 April 2010
28. ^ a
b
McDowell LR. 2008. Vitamins in Animal and Human
Nutrition. Ed ke-2. Iowa State University Press: AS. ISBN
978-0-8138-2630-1
29. ^ Onomi S, Katayama T, Sato K. 2000. Effects of dietary
myo-inositol related compounds on sucrose-mediated hepatic lipid accumulation
in rats. Nutr Research 19(9):1401-09
30. ^ a
b
c
d
"Vitamin
Antioksidan". Diakses
2010-04-10.
31. ^ UV Rays, Pollution and Smoking. 2010. http://www.globaltlp.com/?p=256
32. ^ Antioxidant Vitamins: Benefits Not Yet Proved (editorial)
NEJM vol 330 (15) Apr. 14, 1994. p 1080 - 1081
33. ^ a
b
c
d
George R. 2005. The best defense: free radicals from
pollution and the sun take a terrible toll on your skin. Go on the offense with
topical antioxidants. http://findarticles.com/p/articles/mi_m0NAH/is_5_35/ai_n13654081/
34. ^ Sadava, et al.. 2008. Life:The Science of
Biology. Ed ke-8. Sinauer Associates: US
35. ^ "Warner
J. 2003. Myth vs. Reality on Anti-Aging Vitamins". Diakses 2010-04-10.