Oleh:
ERNA SOFYAN SYUKRIE, SH.
PEMBERDAYAAN PEREMPUAN DALAM PEMBANGUNAN BERKELANJUTAN
ERNA SOFYAN SYUKRIE, SH.
PENDAHULUAN
Dalam era reformasi ini terbuka Iebar bagi setiap warga negara untuk memperoleh kesempatan yang sama dalam pemerintahan.
Dengan adanya pembaharuan hukum, pemberdayaan perempuan dalam pembangunan dibidang politik telah diwujudkan dengan terpilihnya seorang perempuan sebagai Presiden yang juga selaku Kepala Negara memegang pimpinan bangsa dan negara Republik Indonesia yang kita cintai ini merupakan kebanggan kita bersama.
Perkembangan peradaban di dunia Barat dan Timur yang semula tumbuh dalam lingkup budaya dan ideologi patriarkis telah terkikis dengan meninggalkan dampak negatif diberbagai aspek kehidupan dan struktur masyarakat serta telah menciptakan ketimpangan gender.
Kebudayaan global tengah mendesak kepentingan kesetaraan gender keseluruh penjuru dunia termasuk Indonesia. Tidaklah mungkin diingkari, kita telah melepaskan pemahaman kuno yang memandang perempuan secara kodrati hanyalah "konco wingking" belaka, tetapi masih diharapkan "kewajiban domestik" dapat tertanggulangi bersama secara kemitrasejajaran serta dengan berbagi peran dalam keluarga yang sejahtera.
Bahwa kemampuan sama sekali tidak terkait dengan jenis kelamin, tetapi kehidupan publik mensyaratkan kualifikasi tersebut bilamana kesempatan di mungkinkan.
Prinsip dasar dalam Konvensi Wanita adalah persamaan substantif, non diskriminasi, dan prinsip kewajiban negara.
Peraturan Hukum yang bersifat diskriminatir pada zaman kolonial telah menghambat perkembangan bagi pemberdayaan perempuan. Bias gender masih terasa dalam substansi hukum positif, meskipun pemerintah sudah menandatangani sejumlah konvensi yang mengatur hak-hak perempuan. Memperbaharui perundang-undangan warisan kolonial dan hukum nasional yang diskriminatif termasuk ketidakadilan gender sudah menjadi arah kebijakan hukum pemerintah. Perubahan nilai sosial yang diawali dengan berkembangnya proses industrialisasi dan kemajuan tehnologi informasi membawa dampak positif menuju kesetaraan gender.
Peran yurisprudensi yang berperspektif gender, seharusnya dimanfaatkan secara optimal untuk pemberdayaan perempuan dalam pembangunan berkelanjutan dalam rangka mewujudkan kesetaraan dan keadilan gender. Keberhasilan pemberdayaan perempuan dimaksud, sepenuhnya tergantung pada pelaksanaan penerapan dan penegak hukum yang diperankan oleh aparat penyelenggara negara dan oleh kaum perempuan sendiri.
Denpasar, 14-18 Juli 2003
BAB I
DISKRIMINASI TERHADAP PEREMPUAN SEBAGAI KETIMPANGAN GENDER
A. BUDAYA DAN IDEOLOGI PATRIARKI
Sebagaimana kita ketahui bersama di dunia Barat ataupun di Timur, perkembangan peradaban manusja tumbuh dalam lingkup budaya dan ideologi patriarki. Dinegara-negara Barat, Amerika Serikat, dan Eropa Barat, budaya tersebut terlebih dahulu terkikis sejalan dengan perkembangan tehnologi, demokrasi dan lain-lain yang mendudukan persamaan dan keadilan sebagai nilai yang sentral. Di negara-negara Dunia Ketiga, termasuk Indonesia, budaya dan ideologi tersebut masih sangat kental dan mewarnai berbagai aspek kehidupan dan struktur masyarakat serta menciptakan ketimpangan-ketimpangan gender.
Budaya dan ideologi bukan satu hal yang turun dari langit. la di bentuk oleh manusia dan disosialisasikan dari satu generasi ke generasi berikutnya. Koentjaraningrat mengatakan nilai budaya adalah faktor mental yang menentukan perbuatan seseorang atau masyarakat (Koentjaraningrat, 1974). Dalam budaya kita, seperti juga di banyak negara dunia ketiga lain, budaya patriarki masih sangat kental. Dalam kehidupan sosial, politik, ekonomi, dan terlebih lagi dalam budaya, keadaan ketimpangan, asimetris dan subordinatif terhadap perempuan tampak sangat jelas. Dalam kondisi yang seperti itu proses marjinalisasi terhadap perempuan terjadi pada gilirannya perempuan kehilangan otonomi atas dirinya. Eksploitasi serta kekerasan terjadi terhadap perempuan, baik di wilayah domestik maupun publik. Dalam situasi demikian, maka perbedaan, diskriminasi, dan ketidakadilan gender tumbuh dengan suburnya. Meskipun secara formal, dalam UUD
1945, hak laki-laki dan perempuan tidak dibedakan, tetapi dalam kenyataannya sangat berbeda.
Bagi masyarakat tradisional, patriarki di pandang sebagai hal yang tidak perlu dipermasalahkan, karena hal tersebut selalu dikaitkan dengan kodrat dan kekuasaaan adikodrat yang tidak terbantahkan. Kepercayaan bahwa Tuhan telah menetapkan adanya perbedaan laki-laki dan perempuan, sebingga perbedaan dalam kehidupan manusia pun diatur berdasarkan perbedaan tersebut. Tambah lagi, faktor agama telah digunakan untuk memperkuat kedudukan kaum laki-laki. Determinise biologis juga telah memperkuat pandangan tersebut. Artinya. karena secara biologis perempuan dan laki-laki berbeda maka fungsi-fungsi sosial ataupun kerja dengan masyarakat pun di ciptakan berbeda. Laki-laki selalu dikaitkan dengan fungsi dan tugas di luar rumah, sedangkan perempuan yang berkodrat melahirkan ada di dalam rumah, mengerjakan urusan domestik saja. Perempuan bertugas pokok membesarkan anak, laki-laki bertugas mencari nafkah. Perbedaan tersebut di pandang sebagai hal yang alamiah. Itu sebabnya ketimpangan yang melahirkan subordinasi perempuan pun dipandang sebagai hal yang alamiah pula. Hal tersebut bukan saja terjadi dalam keluarga, tetapi telah melebar ke dalam kehidupan masyarakat.
Dalam pendidikan yang merupakan proses yang sangat penting bagi pertumbuhan nalar seseorang, juga masih sangat patriarkis. Satu keluarga biasanya akan lebih memberikan prioritas kepada anak laki-Iaki karena ia adalah penerus keluarga sedangkan anak perempuan akan pindah dan masuk ke dalam keluarga lain. Pendidikan dalam keluarga pun mensosialisasikan bahwa bapak adalah sentral, sehingga secara tidak disadari akan mengecilkan peran perempuan dalam keluarga. Anak perempuan jarang dilibatkan dalam pembicaraan kebijakan keluarga sehingga sosialisasi pada norma-norma yang semacam itu akan berdampak pada pembentukan kepribadian dan sikapnya yang cenderung tidak terbuka.
Dalam bidang teknologi, hingga sekarang tidak cukup ramah terhadap perempuan. Anggapan bahwa tehnologi merupakan tugas laki-Iaki saat ini trend dunia tehnologi masih male dominated, padahal dalam kemampuan perempuan tidak kalah, tetapi apakah masyarakat memberi peluang, kesempatan kepada perempuan, selain kaum perempuan diposisikan dipinggir "dikelas dua", karenanya harus ada perjuangan keras melawan ideologi patriarkhi yang mengungkung perempuan.
Ketimpangan hubungan dalam keluarga juga tampak melalui pengaturan kehamilan. Menerima atau tidaknya untuk ber-KB lebih sering ditentukan oleh suami, yang "mengijinkan" isterinya menjadi akseptor. Menolak hubungan badan dengan suami jarang terjadi karena doktrin agama yang menganggap isteri akan berdosa bila menolak. Dalam masyarakat Jawa, umpamanya, masih berlaku nilai-nilai yang mencerminkan subordinasi perempuan, seperti ungkapan "kanca wingking" (teman pendamping) atau swarga nunut, neraka katut (ke surga ikut, ke neraka terbawa). Ungkapan tersebut mengandung arti bahwa perempuan tidak dapat melampaui suaminya dan perempuan tidak berdaya dan tidak berkuasa atas dirinya.
Pada pola asimetris/ketidaksetaraan antara suami isteri, mengasumsikan satu pihak sebagai kepala/pemimpin, pelindung, penanggungjawab, oleh karena ia yang kuat. memiliki akses keluar, pemilik kuasa (informasi, ekonomi) sekaligus kontrol, pengambilan keputusan. Sementara pihak lain dianggap lemah, sub-ordinat, yang harus dikepalai/pengikut (karenanya harus patuh), dilindungi, dibatasi ruang lingkupnya. Maka, dengan pola hubungan seperti ini akan memberi peluang munculnya kekerasan terhadap perempuan, terutama bila salah satu pihak mengikuti atau keluar dari pola yang ada.
Dalam hukum waris pengaruh adat dan agama tidak dapat diabaikan. Salah satu aturan gender dalam adat dapat kita lihat dalam soal pewarisan di tiga bentuk sistem masyarakat adat, yakni patrilineal, matrilineal dan bilateral.
Dalam masyarakat patrilineal, seperti diwakili oleh suku Batak, Lampung dan juga di Flores dalam kasus di atas, anak laki-laki akan tetap menuntut rumah keluarga sebagai bagian warisan. Sekalipun dalam kenyataannya saudara perempuanlah yang mengurus rumah, bahkan ikut bekerja keras membantu orang tua guna menghidupi saudara laki- lakinya, termasuk membiayai sekolah/ perantauannya.
Sedangkan dalam masyarakat matrilineal, yang diwakili oleh suku Minangkabau, warisan "pusaka tinggi" diwariskan kepada anggota keluarga menurut garis ibu. Sekalipun demikian mamaklah (paman laki-laki) yang memiliki kekuasaan pengaturannya. Seringkali mamak juga ikut mengambil bagian dari warisan tersebut, dan bahkan menguasainya. Adapun dalam masyarakat bilateral, seperti di Jawa, pembagian warisan antara anak laki-
laki dan perempuan adalah 2:1, atau di kenal dalam istilah "sepikul segendong". Namun sering kali anak perempuan yang terkecil di biarkan menguasai rumah keluarga dan kelak dijadikan sebagai miliknya. Terhadap hal ini, saudara laki-akinya tidak akan menuntut.
Di bidang ekonomi, krisis ekonomi telah memarjinalkan perempuan dengan berbagai kebijakan pemerintah yang lebih ditujukan kepada kaum laki-laki dengan anggapan bahwa mereka adalah pencari nafkah. Sebagai contoh, kebijakan pekerjaan padat karya yang hanya melibatkan kaum laki-laki saja. Contoh lain, dalam data statistik, kita tidak menjumpai pendapatan selalu yang diciptakan oleh perempuan seperti menjahit, katering, atau pekerjaan dalam sektor informal. Selama ini data pendapatan selalu diambil dari para suami sebagai kepala keluarga, baik yang memiliki kerja formal ataupun informal. Padahal kita tahu banyak perempuan yang berhasil mendapatkan uang dengan cara kerja informal. Semestinya Biro Pusat Statistik memiliki data-data tersebut supaya kerja perempuan pun di hargai oleh negara dan masyarakat.
Reformasi yang sedang berlangsung ini bukan hanya gerakan memerangi penindasan, otoritarianisme, ketidakadilan, dan sebagainya, yang bersifat non demokratis, tetapi kita harus melihatnya sebagai proses transisi menuju demokrasi. Sekarang inilah kesempatan bagi kaum perempuan untuk mengaktualisasikan diri, serta segala bentuk subordinasi dan marjinalisasi bukan waktunya lagi tetap melekat pada diri kaum perempuan. ldeologi patriarkhis telah melahirkan ketimpangan dan ketidakadilan gender dalam berbagai bidang.
B. UU NO. 7 TAHUN 1984. TENTANG KONVENSI MENGENAI PENGHAPUSAN SEGALA BENTUK DISKRIMINASI TERHADAP WANITA (CEDAW).
Dukungan Pemerintah RI terhadap tujuan Konvensi Mengenai Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi Terhadap Wanita (Konvensi Wanita) yang dikemukan dalam keterangan Pemerintah di DPR Jakarta, 27 Februari 1984 antara lain menghapuskan diskriminasi dalam segala bentuk-bentuknya terhadap wanita dan mungkin dalam terwujudnya prinsip-prinsip persamaan hak bagi wanitadi bidang politik, hukum, ekonomi, dan sosial budaya.
MASIH KONSISTENKAH PEMERINTAH RI TERHADAP TUJUAN TERSEBUT HINGGA KINI ?
Untuk menjawab pertanyaan tersebut, harus diketahui terlebih dahulu apakah pengertian
"Diskriminasi" yang dimaksud dalam Konvensi tersebut?
Pasal 1 : Untuk tujuan Konvensi yang sekarang ini, istilah "DISKRIMINASI TERHADAP WANITA" berarti setiap pembedaan, pengucilan, atau pembatasan yang dibuat atas dasar jenis kelamin, yang mempunyai pengaruh atau tujuan untuk mengurangi atau menghapuskan pengakuan, penikmatan atau penggunaan hak-hak asasi manusia dan kebebasan-kebebasan pokok dibidang politik, ekonomi, sosial, budaya, sipil atau apapun lainnya oleh kaum wanita, terlepas dari status perkawinan mereka, atas dasar persamaan antara pria dan wanita.
Konvensi Wanita secara konkrit menekankan :
Kesetaraan dan keadilan antara Perempuan dan Laki-laki (genderequality and equity), persamaan hak dan kesempatan serta perlakukan adil disegala bidang dalam semua kegiatan meskipun diakui adanya perbedaan:
1. Perbedaan biologi/kodrati antara perempuan dan laki-laki.
2. Perbedaan perlakuan terhadap perempuan berdasarkan gender dengan akibat dimana perempuan dirugikan:
- perempuan sebagai subordinasi laki-Iaki baik dalam keluarga maupun masyarakat.
- pembatasan kemampuan dan kesempatan untuk memanfaatkan peluang yang ada untuk tumbuh berkembang secara optimal, menyeluruh dan terpadu Peluang untuk berperan dalam pembangunan dan menikmati hasil pembangunan.
3. Perbedaan kondisi dan posisi perempuan terhadap laki-Iaki dimana perempuan berada dalam kondisi dan posisi yang lemah karena sejak semula sudah dipolakan adanya diskriminasi dalam budaya adat atau karena lingkungan keluarga, masyarakat yang tidak mendukung adanya kesetaraan dan kemandirian perempuan.
4. Prinsip dasar dari Konvensi Wanita yang kita buat yaitu :
a. Prinsip persamaan substantif b. Prinsip non diskriminasi
c. Prinsip kewajiban negara.
a. Prinsip Persamaan Subtantif.
Prinsip Persamaan Substantif meliputi :
Pendekatan yang terdiri atas langkah-langkah khusus agar perempuan mempunyai akses yang sama dan dapat menikmati manfaat yang sama dengan laki-laki terhadap kesempatan dan peluang yang ada.
Contoh: secara formal ditetapkan serta berasumsi perempuan dan laki-laki adalah sama, dengan akibat harus diperlakukan sama dan mempunyai kesempatan yang sama serta masing-masing akan melaksanakan kinerja yang sama pula, namun faktanya tidak demikian. Misalnya: kesempatan kerja malam hari bagi laki-laki dan perempuan adalah sama secara de jure, ternyata bagi perempuan belum tentu dapat memanfaatkan kesempatan kerja malam tersebut, karena harus menghadapi lingkungan sosial yang tidak sama, sebab fakta dalam masyarakat mengkondisikan bahwa perempuan tidak pada tempatnya bekerja diluar rumah pada malam hari karena menghindari pelecehan atau keadaan tidak aman bagi dirinya, sehingga perempuan kalau toh keluar rumah pada waktu malam untuk bekerja akan menanggung resiko sendiri bila terjadi sesuatu terhadap dirinya. Kondisi semacam ini tidak akan terjadi pada laki-laki. Maka diperlukan
pendekatan koreksi dimana perusahaan harus menyediakan transportasi antar jemput bagi pegawai perempuan, Hal ini biasanya akan menambah pengeluaran (budget) perusahaan, maka lebih baik perusahaan tidak menerima pegawai perempuan.
Langkah-langkah untuk merealisasikan hak perempuan ialah dengan menghapus adanya perbedaan, disparitas/kesenjangan atau keadaan yang merugikan perempuan misalkan: keharusan adanya perubahan pola pikir dan tingkah laku sosial budaya terhadap perempuan, menghapuskan prasangka serta kebiasaan dan praktek yang bersifat diskriminatif (untuk tidak mengganggu perempuan yang jalan sendiri di malam hari).
Kewajiban Pemerintah untuk mengembangkan kebijaksanaan dan peraturan berkaitan dengan langkah-langkah yang diperlukan untuk mencapai persamaan substantif, hak yang sama dan persamaan legal standard antara laki-laki dan perempuan (misalnya; hak yang sama dalam keluarga, peluang kerja yang sama, pemberian gaji yang sama, kewarisan, kewarganegaraan, kesempatan di bidang politik).
b. Prinsip Non Diskriminasi
Selain sudah jelas apa pengertian diskriminasi dalam Pasal 1 , dapat disimak dalam pasal 4, bahwa yang tidak dianggap diskriminasi ialah tindakan yang disebut affirmative action yaitu tindakan khusus yang bersifat sementara dengan tujuan untuk mendapatkan persamaan kesempatan dan perlakuan sama yang nyata antara perempuan dan laki-Iaki.
Misalnya : perlindungan kehamilan bagi perempuan (cuti hamil, cuti haid) hal ini tidak dapat dianggap sebagai pemberian kesempatan yang diskriminatif bagi pekerja laki- laki.
c. Prinsip Kewajiban Negara
Menjamin hak-hak perempuan di bidang hukum dan kebijaksanaan serta jaminan kepada perempuan agar dapat menikmati hasil pelaksananya. Negara tidak saja wajib menjamin persamaan hak secara de jure (substansi hukumnya) tetapi juga dari segi de facto yaitu dengan mendorong realisasi terwujudnya hak perempuan (Pasal 2)
Misalnya : mencabut/mengamandir peraturan, kebijaksanaan, kekuasaan praktek yang diskriminatif terhadap perempuan dan mengadakan pembaharuan-pembaharuan yang sensitif gender.
Secara ringkas kewajiban negara meliputi: mencegah diskriminasi terhadap perempuan, melarang diskriminasi perempuan, melakukan identifikasi adanya diskriminasi terhadap perempuan dan menjalankan langkah-langkah untuk mengatasinya, melaksanakan sanksi atas tindakan diskriminatif terhadap perempuan, memberikan dukungan pada penegakan hak-hak perempuan dan mendorong persamaan, kesetaraan dan keadilan melalul langkah proaktif, dan meningkatkan persamaan de facto perempuan dan laki-Iaki.
Rincian yang ada dalam konvensi menggambarkan bahwa perubahan sosial budaya dan ekonomi serta politik harus terjadi dan diwujudkan dalam hampir semua penghidupan yang berarti merubah peraturan termasuk mengubah pola tingkah laku yang semula diskriminatif yang telah lama dilegitimasi oleh adat dan budaya menuju pola kesetaraan dan keadilan gender. Untuk memberdayakan perempuan, sumber daya manusia adalah faktor penting yang perlu ditingkatkan.
C. PERUBAHAN SOSIAL MENUJU KE MITRASEJAJARAN GENDER
Proses industrialisasi dan kemajuan tehnologi informasi membawa dampak pada perubahan sosial pada peranan perempuan dalam keluarga dan masyarakat. Jumlah kaum perempuan yang bekerja di luar rumah (di publik, sebagai Pegawai Negeri, di bidang Pemerintahan, Legislatif dan Yudikatif), semakin meningkat, di ikuti juga oleh fenomena meningkatnya jumlah perempuan yang menjadi kepala rumah tangga (Biro statistik "Strategi Kehidupan Perempuan Kepala Rumab Tangga").
Fenomena meningkatnya jumlah perempuan yang bekerja memang diharapkan bahkan memang diharapkan bahkan didorong oleh negara lewat konsep ke mitrasejajaran pria dan wanita dalam GBHN . Diharapkan perempuan akan lebih banyak berpartisipasi dalam pembangunan untuk peningkatan pemberdayaan perempuan tidak saja untuk masa kini tetapi juga untuk masa yang akan datang agar tetap berkesinambungan dalam pembangunan berkelanjutan.
Dapat dikemukan disini tentang data-data pemberdayaan perempuan dalam bidang Penegakan Hukum antara lain:
Data Hakim wanita di seluruh Indonesia:
- Peradilan Umum :
481 orang, antara lain 41 orang menjabat Ketua/Wakil Ketua.
- Peradilan Tata Usaha Negara (TUN) :
21 orang, antara lain 1 orang menjabat Ketua PT TUN
- Pengadilan Agama : 462 orang
- Mahkamah Agung :
6 orang, 1 orang menjabat sebagai Ketua Muda Mahkamah Agung bidang
Pengawasan
Data Polisi wanita di seluruh lndonesia.
- Kepala Divisi Penerangan Polda Bali.
- KAPOLRES Subang.
- Wakil POLRES :
6 orang, antara lain ; Jakarta Selatan, Jakarta Timur.
- KAPOLSEK :
20 orang, antara lain ; Bandara Soekarno Hatta, Jakarta Selatan
- Kepala Sekolab Polisi Wanita.
Pada struktur paling bawah, yaitu desa, telah mulai bermunculan perempuan Kepala Desa di beberapa desa di Jawa dan Kalimantan dan juga Bupati Kebumen (Jawa Tengah) yang dipimpin seorang perempuan itupun merupakan hasil perjuangan yang sangat keras karena mereka harus membuktikan diri mampu dan disamping itu harus berhadapan dengan kultur yang masih enggan menerima perempuan sebagai pemimpin desa ataupun kabupaten.
Reformasi yang merupakan transisi menuju demokrasi telah membuka peluang bagi kaum perempuan untuk mengubah isu personal menjadi politis (the personal is political). Perubahan politik ini sangat penting bagi gerakan perempuan untuk mulai mengikis pandangan-pandangan patriarkis yang merugikan perempuan.
BAB II
PEMBERDAYAAN PEREMPUAN DALAM HUKUM POSITIF
A. PERATURAN-PERATURAN HUKUM YANG DISKRIMINATIF PADA ZAMAN KOLONIAL.
Sejak semula pada umumnya sudah dirasakan sebagai suatu keganjilan, bahwa di Indonesia, meskipun telah merupakan suatu negara merdeka, masih saja berlaku banyak undang-undang yang sifat dan bertujuan untuk pemenuhan kepentingan kaum penjajah.
Mengingat bahwa Burgerlijk Wetboek (BW), sengaja disusun sebagai tiruan belaka dari BW di Negeri Belanda (dengan sebutan Azas Konkordansi). Timbul pertanyaan, masih pada tempatnyakah memandang BW sejajar dengan Undang-undang yang secara resmi berlaku di Indonesia ?
Bahwa selain pasal-pasal tersebut bersifat kolonial, dipandang amat diskriminatif dan merugikan bagi penduduk Indonesia khususnya bagi perempuan dalam perkawinan. Sebagai konsekuensi dari gagasan ini, Mahkamah Agung menganggap tidak berlaku lagi antara lain pasal 108, 110 dan 284 ayat 3 BW Surat Edaran Mahkamah Agung (SEMA) No.3 Tahun 1963 yaitu:
Pasal-pasal 108 dan 110 BW:
tentang wewenang seorang isteri untuk melakukan perbuatan hukum dan untuk menghadap di muka Pengadilan tanpa izin atau bantuan dari suami.
Pasal 284 ayat 3 BW:
mengenai pengakuan anak yang lahir di luar perkawinan oleh seorang perempuan
Indonesia asli. Dengan demikian, pengakuan anak tidak lagi berakibat putusnya
perhubungan hukum antara ibu dan anak, sehingga juga tentang hak ini tidak ada lagi perbedaan di antara semua warga negara Indonesia.
Dengan tidak berlakunya Pasal 108 dan 110 BW, maka perempuan Indonesia dalam ikatan perkawinan dapat melakukan perbuatan hukum sendiri (dianggap bekwaam), pasal tersebut menjadi dasar pembentukan Pasal 31 ayat 2 UU No.1 Tahun
1974 tentang Perkawinan.
Sedangkan dengan tidak berlakunya Pasal 284 ayat 3 BW maka anak diluar perkawinan dari perempuan warga negara Indonesia untuk mendapatkan status hukum tidak perlu pengakuan lagi dari ibu kandungnya (sebagai pemikiran bahwa moeder maakt geen bastaard). Pasal ini adalah sebagai dasar, pembentukan Pasal 43 ayat 1 bahwa anak yang dilahirkan di luar perkawinan mempunyai hubungan perdata dengan ibunya dan keluarga ibunya.
Masih ada beberapa pasal dari BW yang bersifat kolonial dan sangat bias gender namun hingga sekarang belum pernah terjamah atau di cabut antara lain :
Pasal 287 : Menyelidiki soal siapakah bapak seorang anak adalah terlarang. Sementara itu, apabila terjadi salah satu kejahatan tersebut dalam Pasal 285 sampai dengan 288, 294 atau 322 Kitab Undang-undang Hukum Pidana dan saat berlangsungnya kejahatan itu bersesuaian dengan saat kehamilan perempuan terhadap siapa kejahatan itu dilakukan, maka tuntutan mereka yang berkepentingan, bolehlah si tersalah dinyatakan sebagai bapak si anak.
Pasal 288 : Menyelidiki soal siapakah ibu seorang anak luar kawin adalah di perbolehkan. Dalam hal yang demikian, si anak harus membuktikan bahwa ia adalah anak yang dilahirkan oleh si ibu. Si anak tak diperbolehkan membuktikannya, dengan saksi kecuali, kiranya telab ada bukti permulaan dengan tulisan.
B. BIAS GENDER DALAM SUBSTANSI HUKUM POSITIF
Pada dasarnya prinsip persamaan telah menjadi bagian dari sistem hukum kita sebagaimana tercermin secara umum dalam Pasal 27 UUD 1945. Dalam rangka memperkokoh prinsip tersebut pemerintah pada masa itu telah meratifikasi berbagai konvensi internasional seperti :
- Konvensi tentang Pemakaian Tenaga Kerja Perempuan Dalam Pekerjaan di Bawah
Tanah dalam Segala Jenis Pertambangan, diratifikasi tanggal 12 Juni 1950.
- Konvensi tentang Hak-hak Politik Perempuan, diratifikasi tanggal 12 Juni 1958.
- Konvensi tentang Pengupahan yang Sama bagi Laki-Iaki dan Perempuan untuk
Pekerjaan yang Sama Nilainya, diratifikasi tanggai 8 Nopember 1958.
- Konvensi tentang Anti Diskriminasi dalam Pendidikan, diratifikasi tanggal 1 Oktober
1967.
- Konvensi Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi Terhadap Perempuan. (UU No.7
Tahun 1984).
Memang benar, sementara itu Pemerintah telah mengadakan perubahan peraturan-peraturan yang bertujuan untuk meningkatkan status perempuan dan keluarga dalam masyarakat dengan menerbitkan UU Perkawinan No.1 tahun 1974 yang telah memberikan kepada perempuan beberapa hak yang sama dengan laki-laki yakni sama- sama menjadi subjek hukum, perempuan bisa memiliki dan menguasai harta benda sendiri, membuat perjanjian karena mampu melakukan perbuatan hukum sendiri (bekwaam), tidak dapat dipaksa kawin bahkan dapat mengajukan perceraian terhadap suaminya, hak-hak mana tidak diakui dalam peraturan yang berlaku sebelumnya. Namun demikian, UU ini mengandung kelemahan dan ada beberapa ambivalensinya, karena dipihak lain menetapkan peran yang berbeda bagi laki-Iaki dan perempuan dimana laki- laki di definisikan berperan di sektor publik (pencari nafkah) dan perempuan di sektor privat/domestik (rumah tangga). Bahkan UU ini masih memungkinkan seorang suami untuk beristeri lebih dari satu (Pasal 3 dan 4).
Perhatikan pula Pasal 41 UU Perkawinan mengenai putusnya perkawinan karena perceraian. Tidak ada sanksi apabila ayah tidak memberikan biaya pemeliharaan dan pendidikan bagi anak-anaknya. Itu berarti perempuan sering harus memikul beban tanggungjawab itu, bila ibunya diberikan hak penguasaan anak. Dalam hal ini laki-laki dan perempuan tidak dibedakan secara jelas seperti dalam Pasal 31 dan 34 UU Perkawinan, tetapi kepentingan janda cerai dalam pemeliharaan anak tidak terjangkau oleh hukum.
Dalam Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) yang sekarang berlaku mengenai perlindungan hukum pada perempuan terhadap tindak kekerasan, baik dalam keluarga maupun dalam masyarakat. Walaupun pemerkosaan memang ditentukan sebagai tindakan pidana dan ada sanksi hukumnya, tetapi ketentuan yang mengharuskan adanya "bukti" mempersulit seorang perempuan untuk menyeret pelakunya ke pengadilan, karena biasanya tidak ada saksi saat pemerkosaan terjadi dan membuktikan pemerkosaan melalui visum et repertum dokter belum tentu berhasil bilamana peristiwa sudah lama terjadi. Lagipula memaksa isteri untuk berhubungan badan belum diakui sebagai "pemerkosa" (marital rape) menurut hukum. Dengan demikian KUHP belum sepenuhnya menampung kepentingan perempuan atas perlindungan terhadap kekerasan seksual karena peraturan-peraturan tersebut tidak memadai dan tepat guna.
Pengertian "kekerasan" dalam Pasal 89 KUHP mempunyai pengertian yang sempit (meskipun dalam penjelasannya karangan R. Susilo Hal 84: mengurung seseorang dalam ruang tertutup termasuk perbuatan kekerasan).
Bahwa kekerasan menurut Deklarasi Penghapusan Kekerasan Terhadap Perempuan (Majelis Umum PBB 1993) pengertiannya diperluas termasuk kekerasan secara fisik, seksual dan psikologis yang terjadi dalam keluarga, di masyarakat dan dilakukan serta dibenarkan oleh negara.
Penganiayaan yang diatur dalam Pasal 351, 353, 354 bilamana dilakukan antara lain terhadap ibu-nya, isterinya, hukumannya ditambah dengan 1/3-nya (pasaI 356
KUHP), namun oleh Penegak Hukum jarang di terapkan. Dalam hal ini peraturannya memadai tetapi tergantung dari para pelaksana dan para Penegak Hukum, karena bilamana tidak didakwakan oleh Jaksa maka Hakim tidak dapat memutuskan atas dasar
pemberatan berdasarkan pasal tersebut. Dalam kondisi yang demikian para penegak hukumlah yang belum sensitif gender.
Pengaturan tentang perdagangan perempuan dan eksploitasi anak dalam KUHP hanya dimasukkan dalam kategori kejahatan terhadap kesopanan yang maksimum hukumnya hanya 6 tahun. Di tinjau dari segi keadilan gender hukuman tersebut tidak setimpal dengan pengorbanan, tidak dapat dirasakan adanya penderitaan kehormatan dan martabat perempuan yang menjadi korban.
Pengaturan tentang Mucikari (Germo) dalam KUHP Pasal 506 termasuk klasifikasi Pelanggaran Terhadap Ketertiban Umum dengan hukuman maksimum 3 bulan, benar-benar dirasakan tidak memadai dibandingkan dengan tindak pidana yang dilakukannya, kekejaman lahir maupun batin yang dilakukan terhadap korban, sebaliknya besarnya keuntungan yang diterima oleh mucikari terhadap penderitaan korban.
Juga kejahatan susila seperti perkosaan pasal 285, pencabulan pada pasal 286,
287 ,289, dan 290 yang akhir-akhir ini marak baik dilakukan oleh keluarga maupun remaja ataupun orang tua yang sangat memprihatinkan biasanya justru terjadi di Iingkungan sendiri yang dilakukan terhadap korban, itupun hanya mendapatkan hukuman maksimum
12 th, 9 th. Kembali kepada para Penegak Hukum yang sebenarnya dapat menjerat dengan pemberatan pasal 291 (bila dimungkinkan), tetapi karena adanya faktor Sumber Daya Manusia, moral atau mungkin adanya KKN, maka pasal tersebut dihindari.
Dengan memperhatikan pasal-pasal dari bidang Hukum perdata maupun Pidana tersebut diatas, amat sangat dirasakan adanya ketidakadilan gender, yang benar-benar merugikan tidak saja fisik tapi terutama psikis selain juga martabat dan kehormatan perempuan serta keluarganya.
Menyadari terdapatnya ketimpangan? keganjilan dan ketidakadilan gender tersebut, sekarang Pemerintah sedang gigih berusaha untuk melakukan tindakan dengan membentuk peraturan atau kebijakan yang non-diskriminasi, meningkatkan kesetaraan gender menuju kepada keadilan gender.
BAB III
PEMBERDAYAAN PEREMPUAN DALAM PEMBANGUNAN BERKELANJUTAN UNTUK MEWUJUDKAN KESETARAAN DAN KEADILAN GENDER
Diharapkan adanya komitmen bersama terhadap upaya mengatasi masalah- masalah yang dihadapi perempuan dalam menghapuskan kendala-kendala yang menghalangi terwujudnya Kesetaraan dan keadilan gender.
Perlu menyadari hal-hal apakah yang harus diubah untuk memungkinkan terwujudnya keadilan gender yang operasional? Rincian yang ada dalam Konvensi Wanita menggambarkan bahwa perubahan sosial budaya dan ekonomi serta politik harus terjadi dalam hampir semua bidang kehidupan dan kegiatan.
Dalam mewujudkan keadilan gender diperlukan kebijakan pemerintah dengan mengadakan pembaharuan hukum, perubahan dan pembentukan undang-undang yang berperspektif gender.
A. HUKUM YANG BERPERSPEKTIF GENDER.
1. Arah Pemerintah di bidang Hukum yang tercantum dalam GBHN (TAP NO.
IV/MPR/1999) 1999-2004 adalah sebagai berikut:
Menata sistem hukum nasional yang menyeluruh dan terpadu dengan mengakui dan menghormati hukum agama dan hukum adat serta memperbaharui perundang-undangan warisan kolonial dan hukum nasional yang diskriminatif, termasuk ketidakadilan gender dan ketidaksesuaiannya dengan tuntutan reformasi melalui program legislasi.
2. Instruksi Presiden RI No.9 Tahun 2000 Tentang Pengarusutamaan Gender dalam Pembangunan Nasional Tanggal 19 Desember 2000. Dalam pedoman Instruksi Presiden tersebut diatur:
a. Maksud dari pengertian :
- Pengarusutamaan Gender adalah strategi yang dibangun untuk mengintegrasikan gender menjadi satu dimensi integral dari perencanaan, penyusunan, pelaksanaan, pemantauan, dan evaluasi atas kebijakan dan program pembangunan nasional.
- Gender adalah konsep yang mengacu pada peran-peran dan tanggung jawab laki-Iaki dan perempuan yang terjadi akibat dari dan dapat berubah oleh keadaan sosial dan budaya masyarakat.
- Kesetaraan Gender adalah kesamaan kondisi bagi laki-laki dan perempuan untuk memperoleh kesempatan dan hak-haknya sebagai manusia agar mampu berperan dan berpartisipasi dalam kegiatan politik, ekonomi, sosial budaya, pertahanan dan keamanan nasional, dan kesamaan dalam menikmati hasil pembangunan tersebut.
- Keadilan Gender adalah suatu proses untuk menjadi adil terhadap laki-laki dan perempuan.
- Analisa Gender adalah proses yang dibangun secara sistematik untuk mengidentifikasi dan memahami pembagian kerja/peran laki-laki dan perempuan, akses dan kontrol terhadap sumber-sumber daya pembangunan, partisipasi dalam proses pembangunan dan manfaat yang mereka nikmati, pola hubungan antara laki-laki dan perempuan yang timpang, yang di dalam pelaksanaannya memperhatikan faktor-faktor lainnya seperti kelas sosial, ras dan suku bangsa.
b. Tujuan
Pengarusutamaan gender bertujuan terselenggaranya perencanaan, penyusunan, pelaksanaan, pemantauan, dan evaluasi atas kebijakan dan program pembangunan nasional yang berperspektif gender dalam rangka
mewujudkan kesetaraan dan keadilan gender dalam kehidupan berkeluarga, bermasyarakat. Berbangsa, dan bernegara.
c. Pengarusutamaan gender diinstruksikan kepada instansi dan lembaga pemerintah ditingkat Pusat dan Daerah adalah instansi dan lembaga pemerintah yang dipimpin oleh:
- Menteri,
- Kepala Lembaga Pemerintah Non Departemen,
- Pimpinan Kesekretariatan, Lembaga Tertinggi/tinggi Negara,
- Panglima Tentara Nasional lndonesia,
- Kepala Kepolisian Republik Indonesia,
- Jaksa Agung Republik Indonesia,
- Gubernur, dan
- Bupati / Walikota.
3. Undang-undang Dasar 1945 yang telah diamandemen dengan ketentuan- ketentuan yang memperhatikan azas-azas non-diskriminasi dan lebih menyetarakan gender :
a. Pasal 27 (1) - Azas non diskriminasi
b. Pasal 28 C - Hak untuk mengembangkan diri, meningkatkan kwalitas hidup dan hak mendapatkan pendidikan.
- Hak untuk bekerja dan mendapat imbalan serta perlakuan adit dan layak dalam hubungan kerja.
c. Pasal 28 D (3) - Hak memperoleh kesempatan yang sama dalam pemerintahan.
d. Pasal 28 G - Hak atas perlindungan pribadi keluarga.
Hak atas rasa aman.
Perlindungan dari ancaman ketakutan. Hak jaminan sosial.
e. Pasal 38 H - Hak memperoleh kesempatan dan manfaat yang sama guna mencapai persamaan keadilan.
Hak jaminan sosial.
d. Pasal 38 I - Hak perlindungan terhadap perlakuan diskriminatif.
Hak perlindungan HAM
4. Diterbitkannya UU Hak Asasi Manusia No.39 Tahun 1999
Mengatur hak-hak wanita dalam pasal 45 s/d 57.
5. UU Pengadilan Hak Asasi Manusia No.26 Tahun 2000 dan Peraturan Pemerintah No.2 Tahun 2002 tentang Tata cara Perlindungan Terhadap Korban dan Saksi dalam Pelanggaran Hak Azasi Manusia yang berat.
6. Atas inisiatif DPR sudah terbentuk
- RUU Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT).
- RUU Perlindungan Saksi dan Korban.
7. Sudah terbentuk Keputusan Presiden RI No.88 Tahun 2002 tentang Rencana Aksi Penghapusan Perdagangan (Trafficking) Perempuan dan Anak, dimana ditentukan bahwa trafficking perempuan dan anak merupakan pelanggaran berat terhadap HAM.
Bahwa Rencana Aksi Nasional Penghapusan Perdagangan (Trafficking) Perempuan dan Anak (RAN P3A) dibentuk dengan maksud sebagai landasan dan pedoman bagi pemerintah dan masyarakat dalam melaksanakan penghapusan perdagangan perempuan dan anak.
Adapun hakekat dan tujuan RAN-P3A adalah untuk :
a. Menjamin peningkatan dan pemajuan atas upaya-upaya perlindungan terhadap korban perdagangan (trafficking) orang, khususnya perempuan dan anak.
b. Mewujudkan kegiatan-kegiatan baik yang bersifat preventif maupun represif dalam upaya melakukan tindakan pencegahan dan penanggulangan atas praktek-praktek perdagangan (trafficking) orang khususnya terhadap perempuan dan anak.
c. Mendorong untuk adanya pembentukan dan/atau penyempurnaan peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan tindakan perdagangan (trafficking) orang khususnya terhadap perempuan dan anak.
8. Undang-undang RI. Nomor 7 tahun 1989 tentang Peradilan Agama.
Pasal 73 (1) Gugatan perceraian diajukan oleh istri atau kuasanya kepada Pengadilan yang daerah kediaman meliputi tempat kediaman Penggugat, kecuali apabila Penggugat dengan sengaja meninggalkan tempat kediaman bersama tanpa izin Tergugat.
Pasal 86 (1) Gugatan soal penguasaan anak, nafkah anak, nafkah istri dan harta bersama suami istri dapat diajukan bersama-sama dengan gugatan perceraian ataupun sesudah putusan perceraian memperoleh kekuatan hukum tetap.
- Jika ada tuntutan pihak ketiga, maka Pengadilan menunda terlebih dahulu perkara harta bersama tersebut sampai ada putusan Pengadilan dalam lingkungan Peradilan Umum yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap tentang hal itu.
9. Kompilasi Hukum Islam di Indonesia
Pasal 53 (1) Seorang wanita yang hamil diluar nikah dapat dinikahkan dengan pria yang menghamilinya.
(2) Perkawinan dengan wanita hamil yang disebut pada ayat (1) dapat dilangsungkan tanpa menunggu lebih dahulu kelahiran anak.
Pasal 99 (b) Anak yang sah adalah anak hasil pembuahan suami istri yang sah diluar rahim dan dilahirkan oleh istri tersebut. (Pemikiran yang amat maju mengenai pengaturan bayi tabung).
Pasal 105 : Dalam hal terjadinya perceraian :
a. Pemeliharaan anak yang belum mumayyiz atau belum berumur 12 tahun adalah ibunya (mutlak).
b. Pemeliharaan anak yang sudah mumayyiz: diserahkan kepada anak untuk memilih diantara ayah atau ibunya sebagai pemegang hak pemeliharaannya.
c. Biaya pemeliharaannya ditanggung oleh ayahnya.
Pasal 171 (c) Ahli waris adalah orang yang pada saat meninggal dunia mempunyai hubungan darah atau hubungan perkawinan dengan pewaris, beragama Islam dan tidak terhalang karena hukum untuk menjadi ahli waris.
Dari ketentuan perundang-undangan dan kebijakan pemerintah tersebut, merupakan fakta dan terjawab sudah bahwa konsistensi pemerintah masih tetap berusaha melaksanakan dan menghapuskan diskriminasi dalam segala bentuk terhadap perempuan dan tetap berusaha mewujudkan prinsip-prinsip persamaan hak bagi perempuan di bidang politik, hukum, ekonomi, dan sosial budaya.
B. PERAN YURISPRUDENSI DALAM MEWUJUDKAN KESETARAAN DAN KEADILAN GENDER.
Sistem Hukum Indonesia sudah mengatur persamaan kedudukan dalam Hukum, perlakuan sama di depan hukum dan hak memperoleh keadilan.
UU No.39 tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia pasal 17 menyebutkan :
Setiap orang, tanpa diskriminasi, berhak untuk memperoleh keadilan dengan mengajukan permohonan, pengaduan, dan gugatan, baik dalam perkara pidana, perdata, maupun administrasi serta di adili melalui proses peradilan yang bebas dan tidak memihak, sesuai dengan hukum acara yang menjamin pemeriksaan yang obyektif oleh hakim yang jujur dan adil untuk memperoleh putusan yang adil dan benar.
Didalam UUD 1945 hasil amandemen, pasal 28 H (2) menyebutkan;
Setiap orang berhak mendapatkan kemudahan dan perlakuan khusus untuk memperoleh kesempatan dan manfaat yang sama guna mencapai persamaan dan keadilan.
Pasal 28 I (2) :
Setiap orang berhak bebas dari perlakuan yang bersifat diskriminatif atas dasar apapun dan berhak mendapatkan perlindungan terhadap perlakuan yang bersifat diskriminatif itu.
Hakim dapat menciptakan hukum melalui putusan-putusannya berdasarkan Pasal 27
UU No.14 tahun 1970 tentang Kekuasaan Kehakiman:
"Hakim sebagai penegak hukum dan keadilan wajib menggali, mengikuti, dan memahami nilai-nilai hukum yang hidup dalam masyarakat" Dalam penjelasan disebutkan bahwa masyarakat masih mengenal hukum tak tertulis, serta dalam masa pergolakan dan peralihan. Hakim merupakan perumus dan penggali dari nilai-nilai hukum yang hidup di kalangan rakyat. Untuk itu ia harus terjun ketengah- tengah masyarakat untuk mengenal, merasakan dan mampu menyelami perasaan hukum dan rasa keadilan yang hidup dalam masyarakat. Dengan demikian Hakim dapat memberikan putusan yang sesuai dengan hukum dan rasa keadilan masyarakat.
Karenanya apabila hukum dan Undang-undang tidak jelas atau ada masalah hukum yang belum diatur maka Hakim dapat menafsirkan melalui pasal 27 tersebut atau dengan metoda penafsiran yang lazim berlaku dalam ilmu hukum dan Hakim harus mengikuti perkembangan kebutuhan masyarakat, kemajuan perkembangan tehnologi yang dapat menyelesaikan masalah hukum dengan bijaksana dan adil.
Bahwa bukan hanya peraturan-peraturan perundang-undangan saja yang dapat digunakan untuk memberdayakan perempuan, tetapi juga putusan-putusan Hakim yang mempakan Yurisprudensi tetap adalah salah satu sumber hukum yang dapat dipergunakan sebagai hukum terapan yang diikuti dan dipatuhi oleh masyarakat dan pada saatnya dapat menjadi Undang-undang.
Misalnya : Pengangkatan anak perempuan yang semula dilarang menurut Stb
1917 No. 129, tetapi dengan Putusan Hakim No.907/1963 P, tanggai 29 Mei 1963, telah menjadi Yurisprudensi tetap karena diikuti oleh putusan-putusan Hakim yang lain dan putusan tersebut dilaksanakan dan dipatuhi oleh masyarakat, dengan berlakunya UU No.23 Tahun 2002 syarat-syarat tentang Pengangkatan Anak sudah menjadi peraturan- peraturan yang tercantum dalam pasal-pasal 39-41 dalam Undang-undang tersebut.
Dalam bidang Yudikatif, pendapat dan pertimbangan Mahkamah Agung yang dituangkan demi keputusan-keputusan berupa Yurisprudensi nampak sangat mempertimbangkan kesetaraan dan keadilan gender.
Misalnya masalah-masalah kehadiran pendamping di persidangan yang belum ada pengaturannya :
1. Dalam KUHAP tidak tercantum larangan atas kehadiran seorang pendamping bagi saksi korban pada waktu pemeriksaan di persidangan.
2. Menurut Ketentuan, Pemeriksaan terhadap Tindak Pidana Kesusilaan harus dilakukan dalam sidang tertutup dengan ancaman batal demi hukum pasal 153 (3) KUHAP.
3. Beberapa pengalaman pemeriksaan di persidangan :
• Bagi saksi korban kekerasan seksual yang masih dibawah umur biasanya selalu didampingi oleh orang tua/walinya atau orang tua asuhnya, dan Hakim akan mendengar keterangan korban secara kekeluargaan di ruang terpisah, karena baik berdasarkan Undang-Undang maupun secara kejiwaan anak tidak dibenarkan didengar keterangannya sebagai saksi di persidangan.
• Bagi saksi korban kekerasan seksual dewasa tidak pula ada larangan bila akandidampingi oleh seorang Pendamping karena fungsi pendamping di persidangan khusus hanya untuk mendampingi saja, agar saksi korban lebih terjamin rasa aman dan tenteram dari segi kejiwaannya.
Untuk tidak dilupakan bagi seorang perempuan korban kekerasan terutama kekerasan seksual telah mengalami kegoncangan jiwa dan tekanan batin yang amat sangat dan trauma yang memerlukan kesembuhan dalam waktu yang lama dan korban masih harus memikirkan biaya yang harus dipikulnya "sendiri", karena belum adanya peraturan yang melindungi saksi korban juga tentang belum adanya peraturan yang mengatur ganti rugi dan atas penderitaannya.
Penderitaan seseorang yang menjadi korban kekerasan/ kejahatan/ perlakuan salah tidak berhenti pada saat selesainya kejahatan dilakukan. Bukan saja korban harus berusaha sendiri untuk menyembuhkan lukanya (baik fisik maupun psikologis) dengan biaya sendiri pula dan harus menggantikan barang-barang yang rusak/hilang karena kejahatan tersebut, akan tetapi ia harus pula menyediakan waktu dana dan upaya untuk turut berperan dalam proses peradilan pidana terhadap kasus yang menimpa dirinya.
Sehingga menurut hemat saya, tidak ada alasan untuk melarang pendamping saksi dan korban menghadap persidangan, dalam menyandang tugasnya (hal Ini pernah dilaporkan secara lisan kepada Mahkamah Agung/TUADA Pidum Mahkamah Agung RI yang dapat membenarkan hadirnya pendamping saksi dan korban dipersidangan - September 1999).
* Meskipun sidang Tindak Pidana Kesusilaan bersifat tertutup untuk umum, Hakim dapat memberikan izin kepada orang yang sangat berkepentingan untuk hadir dalam persidangan tertutup tersebut, misalnya:
- Orang Tua korban
- Pendamping
- Peneliti Ilmiah / Ilmuwan
- Mahasiswa untuk membuat skripsi
- Saksi ahli / Dokter / Spesialis
- Rohaniawan
Ternyata putusan-putusan Hakim yang dalam proses persidangan dengan menghadirkan pendamping bagi saksi tidak pernah dibatalkan oleb Mahkamah Agung, dengan demikian putusan Hakim yang diikuti dan dipatuhi oleh masyarakat dapat diterima sebagai Yurisprudensi.
Beberapa Yurisprudensi tetap yang merupakan Putusan Hakim yang berkeadilan gender :
Yurisprudensi Mahkamah Agung RI
A. Putusan Mahkamah Agung RI Nomor 3l91K/Pdt/1984, Jo putusan Pengadilan Tinggi Nusa Tenggara Barat di Mataram Nomor 65/pdt/1984/PT.NTB Jo Putusan Pengadilan Negeri Nomor 073/PN. Mtr/Pdt/1983 tentang Perbuatan Melawan Hukum.
Buku Yurisprudensi Mahkamah Agung RI 1987 Bahwa dengan tidak terpenuhinya janji Tergugat asal (pria) untuk mengawini Penggugat asal (wanita) telah melanggar norma kesusilaan dan kepatuhan dalam masyarakat serta perbuatan Tergugat asal/merupakan perbuatan melawan hukum sehingga menimbulkan kerugian terhadap diri penggugat asal, maka tergugat asal wajib membayar kerugian.
B. Putusan Mahkamah Agung RI tanggal 30-6-1971 No.415 K/Sip/1970, Jo Putusan Pengadilan Tinggi Medan No.327/1968, Jo Putusan Pengadilan Negeri Padangsidempuan No.47/1966 Pdt.Ps.
- Menurut Hukum Adat, "Pembaean" (penyeraban tanpa melepaskan hak milik) harus dianggap sebagai usaba untuk memperlunak Hukum Adat dimasa sebelum perang Dunia ke II, dimana seorang anak perempuan mempunyai hak waris. Hukum adat didaerah Tapanuli juga telah berkembang kearah hak yang sama kepada anak perempuan seperti anak lelaki, perkembangan dimana sudah diperkuat pula dengan suatu yurisprudensi tetap mengenai hukum waris di daerah.
C. Putusan Mahkamah Agung RI Tanggal 9 Februari 1978 No. :435/Kr/1979, Jo
Putusan Pengadilan Tinggi Denpasar tanggal 30 Januari 1974
No.223/PTD/1968/Perdata, Jo Putusan Pengadilan Negeri Mataram tanggal 4 Mei
1968 No.42/r968/PN/Perdata.
- Sesuai dengan yurisprudensi Mahkamah Agung terhadap anak perempuan di Tapanuli, juga di Lombok adanya anak perempuan dijadikan ahli waris, sehingga dalam perkara ini penggugat untuk kasasi sebagai satu-satunya anak, mewarisi seluruh harta peninggalan dari bapaknya.
D. Putusan Mahkamah Agung RI tanggal 2 November 1976 No. 284 K/Sip/ 1975, Jo
Putusan Pengadilan Tinggi Medan tanggal 8 Februari 1973 No.
98/Perd/21/PT.Mdn., Jo Putusan Pengadilan Negeri Tingkat I Pematang Siantar tanggal 29 September 1970 No. 197/1970/Perd.
- Menurut Hukum Adat waris baru, isteri dari anak-anak perempuan adalah ahli waris.
E. Putusan Mahkamah Agung RI No. 3190 K/Pdt/1985, Jo Putusan Pengadilan Tinggi Surabaya tanggal 9 Januari 1985 No.6371984, Jo Putusan Pengadilan Negeri Kediri tanggal 22 0ktober 1983 No. 38/1983/G.
- “Seorang janda tanpa keturunan anak telah digugat di Pengadilan oleh saudara-saudara kandung dari almarhum suaminya atas harta peninggalan Almarhum suaminya yang saat ini dikuasai oleh janda tersebut. Saudara kandung Almarhum suaminya menuntut agar harta peninggalan tersebut dibagi waris antara janda disatu pihak dan saudara kandung Almarhum suaminya di lain pihak. Harta peninggaian tersebut terdiri dari harta asal dan harta pencaharian”.
- Dalam Putusan Kasasi Mahkamah Agung telah membatalkan Putusan Judex Facti yang dinilai telah salah dalam menerapkan hukum. Putusan ini didasari oleh pertimbangan yuridis yang pada intinya sebagai berikut:
• Bahwa sesuai dengan yurisprudensi tetap dari Mahkamah Agung RI telah ditetapkan bahwa janda adalah ahli waris Almarhum suaminya yang kedudukannya sejajar dengan ahli waris anak-anak. Karena itu janda merupakan ahli waris dan kelompok keutamaan bersama-sama dengan anak-anaknya.
• Bahwa hal tersebut membawa konsekuensi, yaitu :
o Bila janda ini tidak mempunyai keturunan, maka janda akan menutup ke ahli warisan kelompok penggantinya, yaitu saudara Almarhum suaminya.
o Janda, karena itu berhak mewarisi seluruh harta peninggalan Almarhum suaminya, baik harta pencaharian maupun harta asal.
E. Putusan Mahkamah Agung RI No.2216 K/Pdt/1999 Jo Putusan PT. Tanjungkarang
No.20/Pdt/1998/PT.TK, Jo Putusan Pengadilan Negeri Tanjungkarang No.
50/Pdt.G/1997/PN.TK.
- Antara Penggugat (istri) dan Tergugat (suami) telah terjadi perceraian.
Penggugat mengajukan gugatan pembagian harta gono gini berupa 2 buah Ruko, 2 buah mobil yang selama ini dikuasai oleh Tergugat, karena Penggugat menderita tekanan batin yang dalam hingga dirawat di Rumah Sakit Jiwa, oleh Pengadilan Negeri dikabulkan tetapi menolak permohonan Sita jaminannya. Sementara itu Tergugat tanpa hak telah menghibahkan 1 buah Ruko kepada 2 anak perempuan hasil perkawinanya dan Tergugat kawin Iagi dengan perempuan lain serta tinggal dirumah yang diperoleh Penggugat dan Tergugat sebagai harta bersama.
- Bahwa Penggugat pernah menanda tangani surat perjanjian, bahwa, setelah menerima Rp. 10.000.000,- sebagai perhitungan pembayaran harta campur dan
biaya tunjangan hidup anak, karenanya Penggugat tidak lagi berhak atas harta campur.
- Pengadilan Tinggi Tanjungkarang dengan Putusan Sela No.20/Pdt/1998/PT.
TK., memerintahkan Pengadilan Negeri Tanjungkarang meletakkan "Sita harta bersama" atas seluruh harta gono gini yang belum dibagi, yang seharusnya 1/2 bagiannya adalah menjadi hak Penggugat berdasarkan pasal 35 (1) Undang- Undang No.1 tahun 1974 dan dalam putusan akhir; membatalkan surat perjanjian yang bertentangan dengan Undang-Undang, berlawanan dengan kesusilaan dan ketertiban hukum pasal 1337 BW., dan Undang-Undang No. 1 tahun 1974 pasal 35 ayat (1), dan menyatakan hibah dimaksud batal demi hukum pasal 1335 BW, Jo pasal 1337 BW., dan pasal 36 ayat (1) Undang- Undang No. 1 tahun 1974, menghukum Tergugat menyerahkan 1/2 bagian dari harta bersama tersebut.
- Mahkamah Agung RI menyatakan permohonan Kasasi tidak dapat diterima.
F. Putusan Mahkamah Agung RI No. 368.K/AG/1995 tanggal 16Juli 1998 Jo Putusan Pengadilan Tinggi Agama Jakarta No. 14/Pdt.G/1994/PTA Jo Putusan Pengadilan Agama Jakarta Pusat No. 377/Pdt/1993/PAJP.
- Putusan tersebut diperbaiki oleh Mahkamah Agung bahwa Anak kandung perempuan yang bukan beragama Islam status hukumya bukan ahli waris, namun ia berhak mendapatkan bagian dari harta warisan dari kedua orang tuanya berdasarkan WASIAT WAJIBAH dengan kadar bagian yang sama dengan bagian anak perempuan ahli waris Almarhum Ayah dan Ibunya yang beragama Islam.
H. Putusan Mahkamah Agung RI tanggal 23 Februari 1985 No.666 K/Pid/1984, Jo
Putusan Pengadilan Tinggi Sulawesi Tengah di Palu tanggal 9 April 1984 No.
6/Pjd/1984/PT.Patu, Jo Putusan Pengadilan Negeri Luwuk No.27/Pjd/1983.
“Terdakwa, pemuda 30 tahun, telah menjalin hubungan cinta dengan gadis (24 tahun). Pemuda ini berjanji pada gadis bahwa dia akan mengawininya. Dalam hubungan cinta yang makin mesra, si pemuda (terdakwa) telah berhasil menyetubuhi si gadis berulang kali, sehingga si gadis menjadi hamil karenanya. Terdakwa dengan dalih bahwa antara mereka berlainan agama, menolak mengawini gadis tersebut. Si gadis bersedia beralih agama asal pemuda tersebut bersedia mengawininya sesuai janjinya semula. Pemuda tersebut menolak. Kemudian ternyata bahwa pemuda tersebut telah mengawini gadis lainnya. Gadis pertama ditinggaikan dalam keadaan hamil.”
- Di dalam Putusan Kasasinya berpendirian bahwa Judex Facil tidak salah menerapkan hukum, hanya kurang tepat merumuskan kualifikasinya, sehingga amar Putusan Judex Pacti harus diperbaiki oleh Mahkamah Agung, yaitu : Terdakwa terbukti bersalah melakukan TlNDAK PIDANA ADAT : "ZINAH".
I. Putusan Mahkamah Agung RI tanggal 19 Juli 1990 No.661 K/Pid/1988, Jo Putusan
Pengadilan Negeri di Baturaja, Sumatera Selatan tanggal 30 Desember 1987
No.190/Pid/B/1987/PN .BTA.
- Dari Putusan Mahkamah Agung tersebut diatas, maka kita dapat mengangkat diri darinya "Abstrak Hukum" sebagai berikut:
Bahwa keterangan Saksi "dibawah sumpah" yang diberikannya dihadapan Penyidik Kepolisian (karena saksi ini nantinya tidak akan dapat hadir di sidang Pengadilan) dan oleh Penyidik keterangan saksi dibawah sumpah itu, kemudian dituangkan dalam "Berita Acara Pemeriksaan Pendahuluan". Bilamana keterangan saksi inidibacakan didalam sidang Pengadilan, maka keterangan saksi tersebut, "disamakan nilainya" dengan keterangan saksi dibawah sumpah yang diberikan di dalam Persidangan Pengadilan. Karena itu adalah sah sebagai alat bukti menurut Undang-undang (KUHAP).
Yurisprudensi tersebut dapat di pergunakan untuk memberdayakan perempuan terutama untuk mendapatkan kesetaraan dan keadilan gender. Selanjutnya hal ini tergantung sepenuhnya pada pelaksanaan penetapan dan penegakan hukum baik oleh para aparat Penegak Hukum maupun oleh masyarakat, aparat penyelenggara negara termasuk kaum perempuan sendiri.
KESIMPULAN DAN SARAN
A. KESIMPULAN
1. Budaya dan ideologi patriarki, baik di dunia Barat maupun Timur masih sangat mewarnai berbagai aspek kehidupan dan struktur masyarakat yang menciptakan ketimpangan dan ketidakadilan gender, hubungan dalam keluarga, tehnologi, kewarisan, ekonomi dan masih banyak bidang lainnya.
2. Konvensi Penghapusan Segala bentuk Diskriminasi terhadap Wanita sudah diratifikasi dengan Undang-undang No.7 tahun 1984, sehingga menurut kenyataan Konvensi tersebut sudah berusia 19 tahun.
3. Bahwa Undang-undang Perkawinan No.1 Tahun 1974 dibentuk 10 tahun sebelum Indonesia meratifikasi Konvensi Wanita tersebut, karenanya meskipun oleh Pemerintah telah diatur tentang adanya azas kesetaraan antara suami-isteri dalam perkawinan dan isteri dapat melakukan perbuatan hukum sendiri (bekwaam). Undang- undang ini adalah merupakan pembaharuan dari peraturan-peraturan zaman kolonial yang sangat diskriminatif.
4. Pemerintah Indonesia telah berusaha untuk menerapkan prinsip-prinsip yang dianut Konvensi Wanita yaitu prinsip persamaan substantif, non diskriminasi dan prinsip kewajiban negara dengan mengharmonisasikannya ke dalam hukum nasional sesuai dengan azas kesetaraan dan keadilan gender.
5. Perubahan sosial menuju ke mitra sejajaran gender di awali dengan proses industrialisasi dan kemajuan tehnologi informasi dengan fenomena meningkatnya jumlah perempuan yang bekerja di luar rumah. Melalui pengarahan pemerintah diharapkan perempuan akan lebih banyak berpartisipasi dalam pembangunan dengan tujuan utama memberdayakan perempuan tidak saja untuk masa kini tetapi juga untuk masa mendatang agar supaya dapat berperan serta aktif dan mengefektifitaskan dalam pembangunan yang berkelanjutan.
6. Hukum positif yang sekarang berlaku masih banyak tertinggal karena merupakan warisan zaman kolonial yang tidak berkesetaraan gender di mana terdapat banyak kejanggalan-kejanggalan yang bersifat diskriminatif dan tidak berkesetaraan gender sehingga tidak dapat dimanfaatkan untuk memberdayakan perempuan secara tepat guna.
7. Penerapan dan penegakan hukum belum sepenuhnya di laksanakan secara benar sesuai dengan perundang-undangan yang berlaku, karena peraturan perundang- undangan masih banyak yang rancu dan amat terkotak-kotak serta saling tumpang tindih;
8. Peran yurisprudensi yang sudah mempertimbangkan kesetaraan dan keadilan gender kurang disosialisasikan sehingga pemanfaatan bagi pemberdayaan perempuan belum dapat dilaksanakan secara optimal-dalam pembangunan berkesinambungan.
B. SARAN
1. Diperlukan pembaharuan hukum dibidang Perdata antara lain; Hukum Acara Perdata, Hukum Perkawinan, Hukum Waris maupun Hukum Pidana (pengertian tindak kekerasan. pengaturan tindak pidana kesusilaan, perdagangan perempuan dan anak sesuai dengan arah kebijaksanaan negara melalui program legislasi dengan menuntaskan Rancangan Undang-undang menjadi Undang-undang yaitu:
a. Rancangan Undang-undang tentang KUHP yang disempurnakan.
b. Rancangan Undang-undang tentang Tindak Pidana Kekerasan Dalam Rumah
Tangga.
c. Rancangan Undang-undang tentang Perlindungan Saksi dan Korban.
d. Rancangan Undang-undang tentang Penghapusan Perdagangan (trafficking) Perempuan dan Anak.
e. Rancangan Undang-undang tentang Tenaga Kerja Indonesia (TKI) di luar negeri.
f. Rancangan Undang-undang tentang Anti Diskriminasi Suku, Agama dan Ras.
2. Untuk keberhasilan dan pembangunan berkelanjutan mengenai kemitrasejajaran gender, hendaknya pemerintah dapat menegakkan hukum secara konsisten untuk lebih menjamin kepastian hukum, mengembangkan peraturan-peraturan agar pemberdayaan perempuan dapat dilaksanakan untuk meningkatkan kwalitas hidup. kesejahteraan kehidupan keluargadan masyarakat.
3. Melaksanakan sepenuhnya Instruksi Presiden No. 9 tahun 2000 tentang
Pengarusutamaan Gender dalam Pembangunan Nasional.
4. Agar supaya menyempurnakan sistem peradilan pidana untuk mewujudkan Integrated
Criminal Justice System.
5. Menggalakkan sosialisasi peran yurisprudensi untuk lebih dapat dimanfaatkan bagi pemberdayaan perempuan untuk meningkatkan kesejahteraan keluarga dan masyarakat dalam pembangunan yang berkesinambungan.
6. Peningkatan Kualitas Sumber Daya Manusia dan kaum perempuan dengan sistem pendidikan biaya ringan, bila dimungkinkan dengan pemberian bea stswa.
7. Penerapan dan Penegakan Hukum serta budaya hukum dilaksanakan secara konsekwen dengan kesadaran yang tinggi dari masyarakat dan kaum perempuan termasuk para aparat penegak hukum serta aparat penyelenggara negara.
DAFTAR PUSTAKA
1. Achie Sudiart Luhulima, Analisis dan Pemikiran Pengembangan Produk dan Proses Hukum yang Adil Gender, Benih Bertumbuh Kumpulan Karangan untuk Prof. Tapi Omas Ihromi, Jogjakarta, Galang Press.
2. Isbodroini Suyanto, Ideologi Patriarki yang Tercermin dalam Berbagai Struktur Masyarakat. Jogjakarta, Benih Bertumbuh Kumpulan Karangan untuk Prof. Tapi Omas Ihromi, Galang Press.
3. 10 tahun Pogram Studi Kajian Wanita (2000). Perempuan Indonesia Dalam Masyarakat Yallg Tengah Bembah. Ratna Batara Munti. Aturan Hukum tentangPerkawinan dan Implikasjnya pada Perempuan. Jakarta. Program Studi Kajian Wanita.
4. Prof. Dr. Tapi Omas Ihromi (1995). Kajian Wanita dalam Pembangunan, Penggunaan Hukum sebagai Alat dalam Upaya Perbaikan Kedudukan Wanita, Jakarta. Yayasan Obor Indonesia.
5. AS Hikam, Tehnologi Masih diDominasi oleh Laki-Iaki, Jurnal Perempuan 18 (2001), Perempuan & Tehnologi Pembebasan? Jakarta. Yayasan Jurnal Perempuan.
6. Erna Sofwan Sjukrie, SH. Makalah Peran Hakim dalam Mewujudkan Keadilan Gender, Lokakarya ‘Hak Perempuan dan Peran Penegak Hukum’. Kerjasama Mahkamah Agung RI dengan Kelompok Kerja Convention Watch, Jakarta 14-15
Agustus 2001.
7. Nursyahbani Katjasungkana, Hak Perempuan sebagai Hak Asasi Manusia.
8. Salahudin Wahid, Peran Politik Perempuan Indonesia, Antara Kesempatan dan
Kemampuan, Kompas Senin 30 Juni 2003.
PERATURAN - PERATURAN
1. UUD 1945 Hasil Amandemen & Proses Amandemen UUD 1945 Secara Lengkap
(Pertama 1999 - Keempat 2002).
2. GBHN TAP Mo. IV/MPR/1999, Arah Kebijakan Pemerintah di bidang Hukum;
3. Kitab Undang-undang Hukum Pidana, Karangan R, Susilo.
4. Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana.
5. Kitab Undang-undang Hukum Perdata (Burgerlijk Wetboek) Edisi Revisi.
6. UU RI No.14 Tahun 1970 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman.
7. UU RI No.1 Tahun 1974 tentang Perkawinan.
8. UU RI No.7 Tahun 1984 tentang Konvensi Mengenai Penghapusan Segala Bentuk
Diskriminasi Terhadap Perempuan (CEDAW).
9. UU RI No.7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama.
10. UU RI No.39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia.
11. UU RI No.26 Tahun 2000 tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia.
12. UU RI No.23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak.
13. Majelis Umum PBB Tahun 1993 Deklarasi Penghapusan Kekerasan Terhadap
Perempuan.
14. Instruksi Presiden No. 1 Tahun 1991 tentang Kompilasi Hukum Islam di Indonesia.
15. Instruksi Presiden RI No.9 Tahun 2000 tentang Pengarusutamaan Gender dalam
Pembangunan Nasional.
16. Peraturan Pemerintah No.2 Tahun 2002 tentang Tatacara Perlindungan Terhadap
Korban dan Saksi dalam Pelanggaran Hak Asasi Manusia yang Berat.
17. Keputusan Presiden RI No.88 Tahun 2002 tentang Rencana Aksi Penghapusan
Perdagangan (Trafficking) Perempuan dan Anak (RANP3A).
Tidak ada komentar :
Posting Komentar